PENGATURAN PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA KORPORASI
AKIBAT BENCANA INDUSTRI DALAM IUS
CONSTITUTUM
DI INDONESIA
Bisma Putra Mahardhika, S.H., M.H
Dosen Sekolah Tinggi Ilmu Hukum Sunan Giri Malang
Email : bismapm5007@gmail.com
Abstract
The objectives of research are (1) to identify and to explain
criminal responsibility due to corporate-induced industrial disaster through ius constitutum perspective or positive
law of Indonesia and its comparison to European Union, and (2) to understand and
to explain the urgency of criminal responsibility arrangement due to
corporate-induced industrial disaster through ius constituendum perspective or the law that will be prevailed in
Indonesia. Research uses normative juridical method with statute approach, case
approach, and comparative approach methods.
Primary, secondary and tertiary law materials are analyzed using analysis
descriptive technique by relating to the principles of law and by basing
theories of law on the problem that will be discussed. Result of research
indicates that the arrangement of Indonesia positive law is manifested through
several statutes such as Act No.4 of 2009, Act No.32 of 2009 and Act No.24 of
2007. The statutes, however, do not specifically regulate the industrial disaster.
European Union recognizes industrial disaster with term Saveso Directive. This arrangement in European Union is aimed to
prevent big accident due to mechanism error of industrial activities.
Therefore, the arrangement of industrial disaster through ius constituendum is important for preventive step to prevent industrial disaster in Indonesia. It is
also needed then that Act No.24 of 2007 of Disaster Cooptation must be revised,
or in other words, there shall be industrial disaster arrangement, through which
big disaster or accident is due to mechanism error in the industrial activity
process by reducing or minimizing industrial disaster risk in order to produce
justice, certainty, and utilization for the community as the victim of
industrial disaster.
Keyword : Arrangement, Criminal
Responsibility, Industrial Disaster, Corporation.
A.
Pendahuluan
Indonesia dengan kekayaan alam yang
luar biasa, mendapat julukan zamrud khatulistiwa menunjukan begitu melimpahnya
kandungan mineral berharga yang ada di dalam wilayah Indonesia contohnya Gunung
Grasberg yang dikelola PT Freeport Mc Morran dikenal dengan kandungan tembaga,
emas dan bahkan uranium yang sangat
besar, tambang minyak di blok cepu yang berpotensi mampu menghasilkan lebih
dari 300.000 ribu barel minyak per harinya, tambang batubara di Kalimantan dan
Sumatera yang melimpah, Gunung Kapur yang melimpah di daerah Tuban yang
digunakan sebagai bahan baku semen dan masih banyak lainya seperti timah,
aspal, pasir besi dan lain lain. Pesisir dan lautan juga tidak kalah pentingnya
dalam menghidupi rakyat Indonesia dengan potensi kelautan mencapai US$ 1,2
Triliyun per tahun atau 10 kali APBN 2012 dan didalamnya mengandung potensi
perikanan sekitar 6,7 juta ton[1].
Anugerah yang besar ini menjadikan negara kita mampu mengandalkan hasil alamnya
menjadi mesin ekonomi untuk mendapatkan pemasukan keuangan untuk melakukan
pembangunan.
Kekayaan Sumber Daya Alam luar biasa
yang dimiliki oleh Indonesia, menjadikan Indonesia dilirik oleh para investor
untuk dijadikan tempat berinvestasi terutama dalam bidang manufaktur termasuk
pengolahan sumber daya alam dikarenakan mudahnya mendapatkan bahan baku dari
alam serta sebagai tempat pemasaran produk-produk yang dihasilkan oleh industri tersebut dengan jumlah penduduknya
yang besar, dan keberadaan industri pada saat sekarang ini sudah tidak dapat
dihindari lagi. Akibat perkembangan industri di Indonesia yang semakin pesat,
menjadikan masyarakat di Indonesia menggantungkan hidupnya kepada berbagai
macam barang atau produk dari hasil kegiatan industri untuk memenuhi kebutuhan
hidupnya dikarenakan pola hidup masyarakat yang konsumtif dan meningkatnya daya
beli masyarakat.
Tuntutan akan pemenuhan kebutuhan masyarakat,
menjadikan korporasi melakukan segala upaya untuk pemenuhan kebutuhan
masyarakat, tanpa memikirkan dampak yang akan terjadi. Seperti halnya
eksploitasi besar-besaran yang akan mengakibatkan suatu bencana, selain
tuntutan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat, tujuan utama dari korporasi
adalah mencari keuntungan yang sebesar-besarnya, dengan ini korporasi
menghiraukan prosedur-prosedur dan aturan-aturan yang ditetapkan dalam
pertaruan untuk melakukan kegiatan industri. Sehingga hal tersebut
mengakibatkan suatu bencana yang disebabkan oleh aktivitas industri, bencana
inilah yang dimaksud dengan bencana industri.
Contoh bencana industri yang pernah terjadi yaitu Pembangunan bendungan di sungai yang menuju
laut Aral yang berada di Kazakhstan dan Uzbekistan. Pada awalnya laut aral
merupakan danau terbesar keempat di dunia dengan luas mencapai 68.000 km persegi. Akan
tetapi sejak pembangunan bendungan untuk kepentingan pertanian di sungai yang
bermuara ke laut aral pada tahun 1960 an oleh pemerintah Uni Soviet, luasan
laut aral terus menyusut. Publikasi United Nation Environment Programme
menyatakan bahwa sejak dibangunnya bendungan-bendungan tersebut telah terjadi
penyusutan pada luas laut aral menjadi 50 % dari semula, kehilangan dua per
tiga dari total volume air ditandai dengan penurunan permukaan air sebesar 17 meter dan terjadinya
peningkatan konsentrasi garam.[2]
Contoh lainnya yaitu pada tahun 1976, terjadi
sebuah ledakan reaktor kimia di Meda Italia. Ledakan telah menyebabkan udara
dekat permukaan tanah pada area sepanjang enam kilometer dan lebar satu
kilometer, bencana ini kemudian menyebabkan jatuhnya korban di enam kota di
sekitar milan[3].
Kemudian dari kejadian bencana industri ini Uni Eropa membuat suatu peraturan
mengenai bencana industri yang diberi sebutan dengan “Seveso Directive”. Direktif ini berkaitan dengan
pencegahan kecelakaan besar yang mungkin timbul dari kegiatan industri.
Contoh kasusnya di Indonesia seperti
kasus luapan lumpur Lapindo adalah salah satu contoh kebijakanpembangunan yang
dalam implementasinya telah terjadi pergeseranorientasi, yaitu kebijakan pembangunan
yang cenderung mengabaikan faktorkelestarian lingkungan.Lapindo Brantas Inc. melakukan pengeboran gas melalui perusahaan
kontraktor pengeboran PT. Medici Citra Nusantara yang merupakan perusahaan
afiliasi Bakrie Group. Kontrak itu diperoleh Medici dengan tender dari Lapindo
Brantas Inc. senilai US$ 24 juta[4].
Namun dalam hal perijinannya telah terjadi kesimpangsiuran prosedur dimana ada
beberapa tingkatan ijin yang dimiliki oleh lapindo. Hak konsesi eksplorasi
Lapindo diberikan olehpemerintah pusat dalam hal ini adalah Badan Pengelola
Minyak dan Gas (BPMIGAS), sementara ijin konsensinya diberikan oleh Pemerintah
Propinsi Jawa Timur sedangkan ijin kegiatan aktifitas dikeluarkan oleh
Pemerintah Daerah (Pemda) Kabupaten Sidoarjo yang memberikan keleluasaan kepada
Lapindo untuk melakukan aktivitasnya tanpa sadar bahwa Rencana TataRuang (RUTR)
Kabupaten Sidoarjo tidak sesuai dengan rencana eksplorasidan eksplotasi
tersebut[5].
Untuk menyelesaikan permasalahan akibat adanya bencana
industri ini, di Indonesia belum ada satupun Undang-undang yang membahas
mengenai bencana industri yang diakibatkan dari kegiatan industri, antara lain pada
Undang-undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, Undang-undang
Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, kemudian
dalam Undang-undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, belum
secara spesifik mengatur mengenai bencana industri.
Tidak hanya Undang-undang yang disebutkan Penulis diatas yang belum
mampu menyelesaikan permasalahan industri yang diakibatkan oleh aktivitas
industri yang terjadi di Indonesia, tetapi juga ada Peraturan Presiden No. 14
Tahun 2007, Peraturan Presiden No. 48 Tahun 2008, Peraturan Presiden No. 40
Tahun 2009, Peraturan Presiden No. 68 Tahun 2011, dan Peraturan Presiden No. 37
Tahun 2012 tentang Badan Penanggulangan Bencana Lumpur Lapindo yang sampai
sekarang ini belum mampu menyelesaikan permasalahan luapan lumpur lapindo.
Oleh karena itu dipandang perlu adanya pengaturan mengenai bencana industri dan
perlindungan bagi korban akibat bencana industri agar tidak terjadi kekosongan
hukum apabila terjadi permasalahan atau bencana yang diakibatkan dari aktivitas
industri. Bencana yang diakibatkan oleh
aktivitas industri ini terjadi bukan hanya karena kesalahan yang disengaja
ataupun yang tidak disengaja dalam
proses mekanisme industri, dan gagal teknologi saja, tetapi keberhasilan
teknologipun juga bisa menjadikan suatu bencana dengan sekala besar.
B.
Masalah
Berdasarkan
latar belakang diatas dapat dirumuskan suatu masalah sebagai berikut :
1.
Bagaimana pengaturan
Pertanggungjawaban pidana akibat Bencana industri oleh korporasi dalam Ius Constitutum atau hukum positif di
Indonesia dan perbandingannya dengan Uni Eropa?
2.
Apa urgensi pengaturan
pertanggungjawaban pidana akibat bencana industri oleh korporasi dalam Ius Constituendum atau hukum yang akan
datang di Indonesia?
C. Pembahasan
1. Metode Penelitian
Penelitian tentang Urgensi Pengaturan
Prtanggungjawaban Pidana Akibat Bencana Industri oleh Korporasi ini merupakan
jenis penelitian hukum normatif. Metode pendekatan ini menggunakan metode pendekatan perundang-undangan (statute approach), pendekatan kasus (case approach), dan pendekatan perbandingan (comparative approach). Bahan hukum primer, sekunder, dan tersier
yang diperoleh penulis akan dianalisis dengan menggunakan teknik deskriptif
analisis dengan mengaitkan asas-asas
hukum dan berdasar pada teori-teori hukum yang terkait dengan permasalahan yang
ingin dibahas.
2.
Hasil
Penelitian
A.
Pengaturan
Bencana Industri dalam Ius Constitutum dan Penerapannya di Uni Eropa.
a.
Latar
Belakang terjainya Bencana Industri
Bencana industri terjadi karena
adanya kesalahan mekanisme dalam melaksanakan aktivitas industri. Kesalahan
mekanisme yang terjadi bisa karena kesengajaan atau kealpaan, sehingga
mengakibatkan bencana besar yang dampaknya secara besar juga yaitu bukan hanya
terhadap lingkungan hidup saja melainkan juga sosial, dan ekonomi masyarakat
yang menjadi korban yang diakibatkan dari kesalahan mekanisme aktivitas
industri tersebut. Adapun contoh bencana yang terjadi akibat kesalahan
mekanisme dalam aktivitas industri yang terjadi di Indonesia adalah luapan
lumpur panas lapindo.
b.
Pengaturan
Bencana Industri dalam Ius Constitutum
Kasus Bencana Industri merupakan
permasalahan politik, disini terlihat tidak ada penyelesaian dalam kasus Luapan
Lumpur Lapindo ini, sedangkan kasus luapan lumpur lapindo ini mulai tahun 2006,
sampai sekarang pun belum ada penyelesaian terhadap kasus ini. Hal tersebut
dikarenakan pemilik PT. Medici Citra Nusantara ini merupakan salah satu
penguasa yang ada di Indonesia. Selain karena faktor politik, tidak adanya
penyelesaian kasus mengenai Bencana Industri tersebut karena terjadi Vacum Of Law yaitu kekosongan hukum.
Di Indonesia tidak ada hukum yang
mengatur mengenai Bencana Industri. Hanya beberapa Undang-Undang saja yang
mengaturnya tetapi tidak secara spesifik tentang bencana industri, diantaranya:
Undang-undang Nomor 4 Tahun 2009
tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009
tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, dan Undang-undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana,
merumuskan ketentuan pidana sebagai berikut:
Pada Undang-undang Pertambangan
menjelaskan terkait pelanggaran perijinan dibidang Pertambangan, seperti yang
diketahui bahwa merupakan gerbang dari setiap kebijakan, apabila perijinan
selama ini dikeluarkan dengan tidak seksama akan merugikan banyak pihak
terutama para pihak yang berkaitan langsung dengan kegiatan pertambangan
seperti masyarakat lingkar tambang dan dalam Undang-undang pertambangan ini
juga mengatur mengenai tambang-tambang apa saja yang boleh digali.
Dalam Undang-undang Lingkungan hidup
orang atau badan hukum melakukan tindak pidana yaitu orang yang melakukan
perbuatan yang mengakibatkan dilampauinya baku mutu udara ambien, baku mutu
air, baku mutu air laut, atau criteria baku mutu kerusakan lingkungan. Pencemaran
lingkungan hidup yang dimaksud adalah masuk atau dimasukkannya makhluk hidup,
zat, energi, dan/atau komponen lain kedalam lingkungan hidup oleh kegiatan
manusia sehingga melampaui baku mutu lingkungan hidup yang telah ditetapkan. Pada
Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup, belum secara spesifik mengatur mengenai bencana Industri,
karena bencana industri dampaknya tidak hanya pada lingkungan hidup saja
melainkan juga dampak sosial dan ekonomi. Seperti yang sudah dipaparkan pada bagian awal
mengenai dampak-dampak yang ditimbulkan akibat Luapan Lumpur lapindo yang
dampaknya bukan hanya pada Lingkungan hidup tetapi juga sosial, ekonomi, bahkan
kebudayaan. Melihat dari ketentuan-ketentuan yang ada pada Undang-undang
Lingkungan hidup ini dalam pengaturannya masih memberikan porsi yang
banyak dan lebih menekankan kepada
perusakan lingkungan.
Seperti halnya dalam Undang-undang Pertambangan Mineral dan
Batubara, Undang-undang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup,
Undang-undang Penanggulangan Bencana ini juga tidak membahas secara spesifik
mengenai bencana industri yang diakibat dari aktivitas industri. Sedikit
menyinggung mengenai bencana industri akan tetapi tidak menjelaskan secara
lengkap mengenai bencana industri yaitu dengan menyebutkan dan menjelaskannya
sebagai bencanan non alam.
Kemudian yang menjadikan suatu pertanyaan yaitu bagaimana
penyelesaian permasalahan apabila terjadi bencana industri di Indonesia,
sedangkan tidak dapat dipungkiri bahwa kasus bencana industri akan terjadi di
Indonesia melihat bahwa Indonesia merupakan Negara yang kaya akan wilayah
perindustrian. Setiap provinsi di Indonesia rata-rata terdapat sebuah industri
yang berkapasitas besar, pada saat ini saja sudah ada salah satu kasus yang
berkaitan dengan penanganan industri yang salah yaitu terjadinya luapan lumpur
panas di Kecamatan Porong Kabupaten Sidoarjo Jawa Timur yang terjadi pada tahun
2006 dan sampai sekarang ini belum ada penyelesaiannya. Maka dari itu
dibutuhkan pengaturan yang berkaitan dengan bencana industri di Indonesia.
Sebuah peraturan perundang-undang itu seharusnya mejelaskan secara
jelas pengaturan terkait perbuatan yang dianggap tindak pidana, dan menjelaskan
secara rinci perbuatan yang dimaksud tindak pidana, dalam hal ini perbuatan
yang dimaksud yaitu melakukan kesalahan mekanisme dalam proses aktivitas
industri yang mengakibatkan terjadinya bencana besar. Oleh karena itu penting
adanya pengaturan terkait bencana industri di Indonesia untuk memberikan kepastian
hukum terkait pengaturan bencana industri demi terciptanya tujuan hukum yaitu
keadilan, kepastian, dan kemanfaatan.
c.
Pengaturan
Bencana Industri di Uni Eropa
Adanya Bencana Seveso ini akhirnya
mendorong para pembuat kebijakan Eropa untuk mengimplemenasikan serangkaian
kebijakan publik yang inovatif dalam mengelola aktivitas industri yang
berbahaya. Yang paling jelas, Parlemen UE memberlakukan dua directives
(instruksi), Seveso 1 Directive (82/501/EBC) dan versi terbarunya, Seveso II
Directive (96/82/EC), keduanya mensyaratkan manufakturer untuk
mengidentifikasikan area-area yang berpotensi berbahaya dalam proses
manufakturing dan untuk mengambil semua langkah-langkah yang diperlukan untuk
mencegah terjadinya kecelakaan besar dalam rangka untuk (1) mencegah kecelakaan
besar yang dihasilkan dari aktivitas industri mereka, dan (2) membatasi
konsekuensi untuk manusia dan juga lingkungan dari kecelakaan yang mungkin
terjadi. Directive ini menuliskan
aturan-aturan untuk pencegahan kecelakaan besar yang melibatkan senyawa
berbahaya, dan pembatasan konsekuensinya untuk kesehatan manusia dan
lingkungan, dengan sebuah pandangan untuk memastikan level perlindungan yang
tinggi di seluruh Union dalam cara yang konsisten dan efektif[6].
Pengaturan Saveso Directive ada karena timbulnya bencana di Saveso seperti
yang telah dijelaskan diatas, kejadiannya sama jika dibandingkan dengan kasus
yang pernah terjadi di Indonesia yaitu luapan lumpur panas bercampur gas yang
terjadi di Kecamatan Porong Kabupaten Sidoarjo yaitu keduanya sama-sama terjadi
akibat adanya kesalahan mekanisme pada saat melakukan aktivitas industri.
Disini mengapa Indonesia tidak belajar dari latar belakang terbentuknya Saveso
Directive, yang membuat suatu peraturan akibat telah terjadinya bencana di Saveso.
d.
Perbandingan Pengaturan Bencana Industri di
Indonesia dengan Uni Eropa
Dari
perbandingan yang sudah dipaparkan diatas dapat terlihat bahwa terdapat
persamaan, perbedaan, kekuatan, dan
kelemahan dari Undang-undang
Lingkungan Hidup, Undang-undang Penanggulangan Bencana, Undang-undang
Pertambangan Mineral dan Batubara. Persamaan dari ketiga Undang-undang yang ada
di Indonesia ini dengan Saveso Directive dalam
hal ini adalah semuanya mengatur mengenai Subyek Hukum Korporasi, dan dengan
perbandingan yang dilakukan terdapat persamaan antara Undang-undang
Penanggulangan bencana dengan Saveso
Directive berisi mengenai pengaturan untuk
mengurangi atau menghilangkan resiko bencana, baik melalui pengurangan ancaman
bencana maupun kerentanan pihak yang terancam bencana, akan tetapi dalam
Undang-undang Penanggulangan bencana belum secara spesifik mengatur mengenai
bencana industri.
B.
Urgensi Pengaturan Pertanggungjawaban Pidana
Akibat Bencana Industri oleh Korporasi.
a.
Kepastian Hukum Terkait Pengaturan Bencana
Industri dalam Hukum Positif di Indonesia.
Salah satu fungsi hukum yaitu sebagai
alat untuk melindungi kepentingan masyarakat[7],
seharusnya hukum tersebut harus dijalankan untuk menjamin suatu perlindungan
bagi masyarakat. Akan tetapi dengan ketidakadaannya kespesifikkan mengenai
pengaturan bencana industri ini maka belum adanya upaya untuk melindungi
masyarakat, kemudian apabila bencana industri terjadi maka hukum belum dapat
berfungsi untuk melindungi masyarakat, bagaiaman hukum akan melindungi masyarakat
apabila hukumnya tersebut belum spesifik mengatur mengenai bencana industri.
Seperti halnya bencana yang disebabkan oleh kesalahan mekanisme aktivitas
industri yang terjadi di Kecamatan Porong Kabupaten sidoarjo, nampak bahwa
fungsi hukum belum dapat berfungsi dimana hukum yang seharusnya melindungi
masyarakat, akan tetapi dengan adanya kejadian tersebut masyarakan bukannya
menjadi dilindungi melainkan menjadi dirugikan akibat tidak spesifiknya
pengaturan hukumnya.
Sebuah undang-undang seharusnya mampu
memanifestasikan tujuan hukum yang mencakup keadilan, kepastian dan
kemanfaatan. Akan tetapi di Indonesia tidak ada hukum yang mengatur mengenai
Bencana Industri. Hanya beberapa Undang-undang saja yang mengaturnya tetapi
tidak secara spesifik tentang bencana industri, antara lain Undang-undang Nomor
4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, Undang-undang Nomor 32
Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, dan
Undang-undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana.
Bagaimana masyarakat dapat merasakan keadilan apabila dalam pengaturan dalam
hukum positif di Indonesia belum mengatur secara spesifik mengenai bencana
industri, sedangkan berdasarkan teori etis[8]
yaitu hukum semata-mata bertujuan untuk keadilan, karena setiap orang berhak
atas keadilan, dengan keadilan setiap orang dapat merasakan apa yang namanya
kesejahteraan, kebahagiaan, dan sebagainya. Terutama bagi korban bencana besar
yang diakibatkan olek kesalahan mekanisme aktivitas industri yang dilakukan oleh
korporasi.
Berdasarkan Teori Utilitis[9],
menurut teori ini hukum menjamin kebahagiaan yang terbesar bagi manusia dalam
jumlah yang sebanyak-banyaknya. Pada hakekatnya menurut teori ini tujuan hukum
adalah manfaat dalam menghasilkan kesenangan atau kebahagiaan yang terbesar
bagi jumlah orang yang terbanyak. Dikaji dari ketiga peraturan
perundang-undangan di Indonesia belum bisa memberikan manfaat dan kebahagiaan
bagi masyarakat khususnya yang menjadi korban bencana industri, justru membuat
kesukaran dan keresahan bagi masyarakat akibat terjadinya bencana besar yang
disebabkan olek aktivitas industri, karena hukum positif di Indonesia belum
secara jelas mengatur mengenai bencana industri. Sehingga
setelah melihat uraian diatas maka penting adanya suatu pengaturan bencana
industri dalam ius constituendum agar
tidak terjadi Vacum Of Law atau
kekosongan hukum apabila terjadi permasalahan bencana industri, kemudia
pentingnya adanya pengaturan bencana industri ini juga sebagai langkah preventif untuk mencegah terjadinya
bencana industri di Indonesia.
b.
Kejelasan pengaturan pertanggungjawaban pidana
korporasi
Sebagai sebuah korporasi dalam hal
ini ini tidak memiliki mens rea apakah
dapat juga dijatuhi pertanggungjawaban pidana apabila korporasi tersebut
melakukan kesalahan, kesalahan yang dimaksud tersebut adalah kesalahan
mekanisme dalam pelaksanaan aktivitas industri. Faktor mens rea tersebut dapat diambil dari manusia sebagai pihak yang
menjalankan operasional korporasi. Sehingga apabila korporasi melakukan tindak
pidana maka baik korporasi maupun pengurusnya dapat dijatuhi pembebanan
pertanggungjawaban pidana.
Menurut Teori Relative[10],
tujuan pemidanaan yaitu mencari dasar hukum pidana dalam menyelenggarakan
tertib masyarakat dan akibatnya yaitu tujuan untuk preventif terjadinya
kejahatan, teori relative ini menhendaki penjeraan. Penjeraan tersebut
dimaksudkan penjeraan untuk pelaku kejahatan agar ada rasa jera atau rasa takut
sehingga pelaku kejahatan takut untuk melakukan tindak pidana lagi, dalam hal
ini adalah korporasi yang melakukan kejahatan dalam melakukan mekanisme
aktivitas industri. Karena korporasi merupakan pihak yang paling bersalah
apabila terjadi bencana industri, bencana besar tersebut diakibatkan oleh
kesalahan mekanisme dalam proses aktivitas industri. Jika dikaji dari
pengaturan pemidanaan korporasi dalam ius
constitutum belum ada pengaturan yang jelas mengenai pemidanaan bagi
pengurus korporasi, bagaimana tujuan pemidanaan untuk memberikan efek jera bagi
pengurus korporasi yang melakukan kejahatan dapat diterapkan apabila
pengaturannya sendiri belum jelas terkait pertanggungjawaban pidana bagi
pengurus korporasi. Seharusnya ada pengaturan lebih jelas terkait
pertanggungjawaban pidana bagi pengurus korporasi, khususnya pengaturan
mengenai pengurus siapa yang wajib bertanggungjawab apabila terjadi suatu
kejahatan yang dilakukan oleh korporasi agar dapat terciptanya tujuan
pemidanaan untuk memberikan efek jera bagi pengurus korporasi yang melakukan
kejahatan
c.
Menjamin
perlindungan hukum bagi korban akibat Bencana Industri
Pentingnya diberlakukannya pengaturan
pertanggungjawaban pidana akibat bencana industri oleh korporasi guna
memberikan batasan-batasan terhadap pelaku kejahatan terutama untuk melindungi
korban-korban yang haknya dirampas akibat adanya tindakan yang merugikan
masyarakat. Keharusan yang mendesak pengaturan ini semata-mata untuk memberikan
efek jera bagi pelaku korporasi, dan melindungi korban-korban bencana yang
diakibatkan oleh aktivitas industri.
Korban kejahatan yang pada dasarnya
merupakan pihak yang paling menderita dalam suatu tindak pidana, justru tidak
memperoleh perlindungan sebanyak yang diberikan oleh Undang-undang kepada
pelaku kejahatan. Akibatnya, pada saat pelaku kejahatan telah dijatuhi sanksi
pidana oleh pengadilan, kondisi korban kejahatan seperti tidak dipedulikan sama
sekali. Padahal, masalah keadilan dan penghormatan hak asasi manusia tidak hanya
berlaku terhadap pelaku kejahatan saja, tetapi juga korban kejahatan[11].
Dalam penyelesaian perkara pidana,
sering kali hukum terlalu mengedepankan hak-hak tersangka/ terdakwa, sementara
hak-hak korban diabaikan, sebagaimana dikemukakan oleh Andi Hamzah : “ Dalam
membahas hukum acara pidana khususnya yang berkaitan dengan hak-hak asasi
manusia, ada kecenderungan untuk mengupas hal-hal yang berkaitan dengan hak-hak
tersangka tanpa memerhatikan pula hak-hak para korban[12].
Oleh karena itu, sangatlah penting
adanya pengaturan mengenai pertanggungjawaban pidana bagi korporasi untuk
melindungi hak-hak korban yang haknya terenggut akibat adanya bencana industri
yang disebabkan oleh adanya kegiatan industri yang dilakukan oleh korporasi.
d.
Alternatif
pengaturan Bencana Industri dalam ius
constituendum.
Latar belakang lahirnya pengaturan Saveso Directive di Uni Eropa yaitu
adalah adanya suatu bencana besar akibat kesalahan mekanisme dalam aktivitas
industri, nama saveso ini diambil dari nama kota kecil di Swiss yang mengalamai
bencana industri tersebut. Jika kita lihat di Indonesia juga pernah terjadi suatu
bencana besar akibat kesalahan mekanisme dalam aktivitas industri yaitu Luapan
lumpur panas bercampur gas di Kecamatan Porong Kabupaten Sidoarjo. Mengapa
Indonesia tidak belajar dari apa yang dilakukan oleh pihak pemerintah Uni Eropa
untuk membuat peraturan mengenai bencana industri, disini Pemerintan Indonesia
dapat mengkaji latar belakang terbentuknya Saveso
Directive di Uni Eropa untuk menjadikan adanya suatu pengaturan dalam
Undang-Undang yang ada di Indonesia mengenai bencana industri[13],
baik dijadikan suatu peraturan perundang-undangan baru ataupun memasukkan suatu
pasal yang nantinya dimasukkan kepada peraturan perundang-undangan yang sudah
ada.
Berdasarkan perbandingan yang sudah
dijelaskan, Saveso Directive ini
memberikan tujuan untuk pencegahan dan mengurangi kecelakaan besar yang terjadi
akibat kesalahan mekanisme dampak dari kegiatan atau aktivitas industri. Jika
dibandingkan dengan pengaturan dalam perundang-undangan di Indonesia, Indonesia
juga memiliki Undang-Undang Nomor. 27 Tahun 2007 tentang Penanggulangan
Bencana. Dalam Undang-Undang Penanggulangan bencana ini mengatur mengenai
pengaturan untuk mengurangi atau menghilangkan resiko bencana, baik melalui
pengurangan ancaman bencana maupun kerentanan pihak yang terancam bencana.
Melihat dari uraian diatas, perlu
adanya revisi dalam Undang-Undang Nomor. 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan
Bencana, yaitu perlu adanya pengaturan terkait bencana industri yaitu bencana
atau kecelakaan besar yang diakibatkan oleh peristiwa atau rangkaian peristiwa yang
disebabkankan oleh kesalahan mekanisme dalam proses kegiatan atau aktivitas
industri, untuk mengurangi serta meminimalisir resiko bencana industri, baik
melalui pengurangan ancaman bencana serta pengetatan pengawasan terhadap
aktivitas industri maupun kerentanan pihak yang terancam bencana akibat
kesalahan mekanisme dalam aktivitas industri yang dilakukan oleh korporasi.
Sehingga tercipta keadilan, kepastian, dan kemanfaatan khususnya bagi
masyarakat yang menjadi korban akibat bencana industri.
Tabel
Perbandingan Pengaturan
Bencana Industri dalam Ius Constitutum dan
Alternatif Pengaturan dalam Ius
Constituendum
No.
|
Pengaturan
|
Undang-undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana
|
Alternatif pengaturan Bencana Industri dalam
UU Penanggulangan Bencana dalam Ius Constituendum
|
1.
|
Subyek Hukum
|
Badan Hukum sebagai subyek hukum tindak pidana.
|
Korporasi merupakan subyek hukum tindak pidana, baik
yang berbadan hukum maupun yang tidak berbadan hukum.
|
2.
|
Perbuatan
|
Setiap orang yang melakukan pembangunan berisiko
tinggi, yang tidak dilengkapi dengan analisis bencana yang mengakibatkan
terjadinya bencana.
|
Setiap orang yang melakukan kesalahan mekanisme
dalam proses aktivitas industri yang
mengakibatkan terjadinya bencana besar.
|
3.
|
Sanksi bagi pengurus Korporasi
|
Tidak menyebutkan mengenai siapa saja pengurus yang
bertanggungjawab
|
Pertanggungjawaban pidana bagi korporasi diberikan
kepada pengurus sebagai pihak yang menjalankan operasional korporasi, yang
termasuk pengurus antara lain:orang yang memberi perintah, orang yang
bertindak sebagai pemimpin, atau yang yang melalaikan pencegahannya.
|
4.
|
Obyek Hukum
|
Bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau
rangkaian peristiwa non alam yang diantara lain berupa gagal teknologi, gagal
modernisasi, epidemi dan wabah penyakit.
|
Bencana atau kecelakaan besar yang diakibatkan oleh
peristiwa atau rangkaian peristiwa yang disebabkankan oleh kesalahan
mekanisme dalam proses kegiatan atau aktivitas industri.
|
(Sumber : Bahan Hukum Primer, diolah, 2014)
D.
Penutup
1.
Kesimpulan
a. Di
Indonesia tidak ada hukum yang mengatur secara spesifik mengenai Bencana
Industri. Hanya beberapa Undang-Undang saja yang mengaturnya tetapi tidak
secara spesifik tentang bencana antara lain Undang-Undang Pertambangan,
Undang-Undang Lingkungan Hidup, dan Undang-Undang Penanggulangan Bencana. Jika
dikaji dari ketiga Undang-undang tersebut, tidak ada satu Undang-undangpun yang
secara spesifik mengatur mengenai bencana industri yaitu bencana besar yang
terjadi diakibatkan oleh adanya kesalahan mekanisme dalam proses aktivitas
industri. Kesalahan mekanisme yang dimaksud disini terjadi baik karena sengaja
maupun karena kealpaan atau ketidaksengajaan. Jika dibandingkan dengan
pengaturan yang ada di Uni Eropa yaitu Saveso
Directive, dalam hal ini terdapat persamaan dengan Undang-undang
Penanggulangan Bencana keduanya sama-sama berisi mengenai pengaturan untuk
mengurangi resiko bencana, akan tetapi dalam Undang-undang Penanggulangan
Bencana belum secara spesifik mengatur mengenai bencana industri.
b. Pentingnya
pengaturan bencana industri dalam Ius
Constituendum adalah untuk memberikan kepastian hukum terkait pengaturan bencana industri,
memberikan kejelasan terkait pengaturan pertanggungjawaban pidana bagi
korporasi, dan untuk menjamin perlindungan hukum bagi korban akibat bencana
industri. Oleh karena itu perlu adanya pengaturan tambahan mengenai bencana
industri dalam Undang-undang Penanggulangan Bencana untuk menjamin kepastian,
keadilan, dan kemanfaatan bagi masyarakat khususnya masyarakat yang menjadi
korban akibat terjadinya bencana besar yang diakibatkan oleh aktivitas
industri.
2.
Saran
a. Bagi
Pemerintah, sudah saatnya mengkaji Undang-undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang
Penanggulangan Bencana untuk melengkapinya dengan pengaturan bencana industri,
agar tercapainya tujuan hukum yakni keadilan, kepastian, kemanfaatan bagi
masyarakat khususnya yang menjadi korban bencana industri, dan perlu
ditambahkan sebuah kejelasan pengaturan pertanggungjawaban pidana bagi
korporasi terkait tanggungjawab pengurus karena
diketahui bahwa sebagian besar industri digerakkan oleh subyek hukum
korporasi.
b. Bagi
masyarakat, diharapkan masyarakat mengetahui akan bahaya terjadinya bencana
industri agar masyarakat tidak melakukan perbuatan atau tindakan yang dapat menyebabkan terjadinya bencana
industri.
E.
Daftar
Pustaka
Andi
Hamzah, 2008, Asas-asas Hukum Pidana,
Rineka Cipta, Jakarta.
Dikdik M. Arief Mansur, dan
Elisatris Gultom, 2007, Urgensi
Perlindungan Korban Kejahatan Antara Norma dan Realita, PT. RajaGrafindo
Persada, Jakarta.
Ishaq, 2008, Dasar-dasar Ilmu Hukum, Sinar Grafika,
Jakarta.
Jurggenber and Eric L.Jensen, 2003,
Encyclopedia
of White Collar Crime-Saveso Dioxin Disaster, Greenwood Press, London.
Laode M Kamaluddin, 2005, Indonesia Sebagai Negara Maritim Dari Sudut
Pandang Ekonomi, UMM Press, Malang.
Sudikno Mertokusumo, 2005, Mengenal Hukum Suatu Pengantar,
Liberty, Yogyakarta.
PERATURAN
PERUNDANG-UNDANGAN :
Undang-undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan
Bencana.
Undang-undang Nomor 4 Tahun 2009
tentang Pertambangan Mineral dan Batubara.
Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009
tentang Perlindungan dan Pengelolaaan Lingkungan Hidup.
Saveso Directive
TESIS
Ivan Valentina Ageung, 2010, Kejahatan
Korporasi Dalam Kasus Luapan Lumpur Lapindo Brantas Incorporated, Tesis Program Pasca Sarjana Fakultas Hukum
Universitas 17 Agustus Jakarta.
JURNAL INTERNASIONAL
Raskin E. Hansen and Z. Zhu, M.
Iwra, 1992, Simulation Of Water Supply and Demand in the Aral Sea Region.
[1] Laode M Kamaluddin, Indonesia Sebagai Negara Maritim Dari Sudut Pandang Ekonomi,
Malang, UMM Press, 2005, hlm.1
[2] Raskin E. Hansen and
Z. Zhu, M. Iwra, Simulation Of Water
Supply and Demand in the Aral Sea Region, 1992.
[3] Jurggenber and Eric
L.Jensen, Encyclopedia of White Collar
Crime-Saveso Dioxin Disaster, Greenwood Press, London, 2003. Hlm 260.
[4] Ivan Valentina Ageung, Kejahatan Korporasi Dalam
Kasus Luapan Lumpur Lapindo Brantas Incorporated, Tesis Program Pasca Sarjana Fakultas Hukum
Universitas 17 Agustus Jakarta, 2010, Hlm 3.
[5] Didalam Peraturan Daerah Kabupaten
Sidoarjo No. 16 Tahun 2003 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten
Sidoarjo Tahun 2003-20013 tidak satupun pasal yang menyebutkan bahwa Kecamatan
Porong adalah kawasan pertambangan migas.
[6] Jurggenber and Eric
L. Jensen, Loc.Cit
[7] Ishaq, Dasar-dasar Ilmu Hukum, Sinar Grafika,
Jakarta, 2008. Hlm 10
[10] Andi Hamzah, Asas-asas Hukum Pidana, Rineka Cipta,
Jakarta, 2008. Hlm 29
[11] Dikdik M. Arief
Mansur, dan Elisatris Gultom, Urgensi
Perlindungan Korban Kejahatan Antara Norma dan Realita, PT. RajaGrafindo
Persada, Jakarta, 2007. Hlm 24
[13]Hasil wawancara dengan
Bosman Batubara, Sebagai Ahli Geologi, Pada tanggal 20 September 2013 , diolah.