Oleh : H. Moch Mochtar SH.,M.Si
Abstrak : Advokat sebagai tugas yang mulya dimuka bumi, lebih-lebih pada masa globalisasi ini, maka kompleknya permasalahan yang terjadi, di lingkungan masyarakat luas.
Profesi Advokat (pengacara) adalah profesi yang terhormat mempunyai status sebagai penegak hukum, bebas dan mandiri yang dijamin oleh hukum dan peraturan perundang-undangan (pasal 5 ayat 1 UU No.18 Tahun 2003 tentang Advokat). Bahkan Advokat juga merupakan salah satu perangkat dalam proses pengadilan yang mempunyai kedudukan setara dengan penegak hukum lainnya dalam menegakkan hukum dan keadilan.
“This Pluralistic situation continues to have an efect on the Indonesia legal system. In other, word the existece of customary law and usage, tradisional practice, and the written law indicate the prevalence of legal pluralism”
Fenomena yang ada pada masyarakat umum, khususnya masyarakat hukum menjadi bertanya-tanya, ada apa gerangan pada advokat yang berstatus sebagai penegak hukum tersebut?
Padahal kita tahu bahwa profesi advokat (pengacara) adalah profesi yang terhormat (officium nobile), advokat berstatus sebagai penegak hukum, bebas dan mandiri yang dijamin oleh hukum dan peraturan perundang-undangan (Pasal 5 Ayat 1 UU No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat). Yang dimaksud dengan “Advokat berstatus sebagai penegak hukum” adalah advokat sebagai salah satu perangkat dalam proses peradilan yang mempunyai kedudukan setara dengan penegak hukum lainnya dalam menegakkan hukum dan keadilan.
Keberadaan advokat sangat diperlukan apabila dikaitkan dengan dunia peradilan, hal ini sebagaimana tercantum dalam konsiderans hukum dalam Undang-Undang Advokat, yang bunyinya: “Kekuasaan kehakiman yang bebas dari segala campur tangan dan pengaruh dari luar, memerlukan profesi advokat yang bebas, mandiri, dan bertanggung jawab, untuk terselenggaranya suatu peradilan yang jujur, adil dan memiliki kepastian hukum bagi semua pencari keadilan dalam menegakkan hukum, kebenaran, keadilan dan hak asasi manusia.
Undang-undang No.18 Tahun 2003 tentang Advokat disahkan tanggal 5 April 2003, dalam ketentuan peralihan Pasal 32 Ayat 4 disebutkan, bahwa; dalam waktu paling lambat 2 (dua) tahun setelah berlakunya undang-undang ini organisasi advokat telah terbentuk.
Profesi advokat ini erat hubungannya dengan kekuasaan kehakiman dan sangat diperlukan dalam menuju ke arah terselenggaranya peradilan yang jujur, adil dan memiliki kepastian hukum bagi pencari keadilan, hal ini dapat dilihat dalam konsiderans undang-undang ini.
Dalam Undang-undang tentang Advokat Bab XII Ketentuan peralihan pasar 32 Ayat (3), menyebutkan: untuk sementara tugas dan wewenang organisasi advokat sebagaimana dimaksud dalam undang-undang ini, dijalankan bersama oleh Ikatan Advokat Indonesia (IKADIN), Asosiasi Advokat Indonesia (AAI), Ikatan Penasihat Hukum Indonesia (IPHI), Himpunan Advokat dan Pengacara Indonesia (SPI), serikat Pengacara Indonesia (SPI), Asosiasi Konsultasi Hukum Indonesia (AKHI), Himpunan Konsultan Hukum Pasar Modal (HKHPM), dan Asosiasi Pengacara Syariah Indonesia (APSI).
Kalau kita lihat nama-nama organisasi advokat tersebut di atas, baik NAMA Persaruan Advokat Indonesia selanjutnya disebut PERADI maupun Kongres Advokat Indonesia selanjutnya disebut KAI. Tidak tercantum dalam nama kedelapan organisasi advokat yang ada.
Organisasi PERADI dianggap legitimitas mungkin karena pembentukannya bersama organisasi advokat yang ada, yang selanjutnya melahirkan Kode Etik Profesi Peradi dan pembentukan KIA dianggap legitimitas, mungkin karena pembentukannya berdasarkan pendiriannya pada tanggal 30-31 Mei 2008 yang dihadiri oleh lebih kurang 3.000 (tiga ribu) anggota advokat termasuk organisasi advokat yang ada. Yang kemudian mereka menjadi anggota dalam suatu forum Kongres yang terbuka, sebagaimana suatu tradisi organisasi modern apabila mengambil suatu keputusan yang kemudian melahirkan Kode Etik KAI.
Sampai sekarang ini kekuasaan kehakiman salah satu di antaranya yakni Mahkamah Agung belum membereskan sikap atas eksistensi PERADI dan KAI, mungkin kesibukan dengan tugas-tugasnya, atau juga disibukkan oleh organisasi internal sendiri di mana bulan Januari 2009 dan menggelar pemilihan ketua MA, dan juga tugas rutinitas dengan berbagai perkara yang begitu banyak.
Bahkan MA dapat dikatakan bersikap mendua dalam arti melayani/tidak melayani keduanya, menerima/tidak menerima keduanya dan membenarkan/tidak membenarkan keduanya (ambivalen).
Beberapa aktivitas yang ada di lapangan yang dijatuhkan oleh PERADI maupun KAI, seperti:
a. PERADI maupun KAI dalam beracara di pengadilan dapat diterima.
b. Pengangkatan advokat juga oleh kedua organisasi tersebut dapat dilakukan, seperti untuk dapat menjadi advokat harus memenuhi persyaratan antara lain lulus ujian yang diadakan oleh organisasi advokat, tercatat baru-baru ini sebanyak 4.000 (empat ribu) peserta ujian yang diselenggarakan oleh KAI.
c. Dibentuknya Majelis Dewan Kehormatan di Tingkat Daerah oleh PERADI yang memeriksa dan mengadili salah seorang anggota seniornya, dibentuknya Majelis Dewan Kehormatan Tingkat Pusat dan KAI yang terdiri dari unsur Dewan Kehormatan, pakar atau tenaga ahli di bidang hukum dan tokoh masyarakat dalam memeriksa perkara banding salah seorang anggota senior advokat, telah memberikan keputusan hukumnya dan hasil keputusannya dibacakan di Jakarta dan diliput oleh berbagai media TV serta telah dimuat dalam surat kabar terkemuka di Indonesia.
d. Dan beberapa peristiwa hukum lain yang seakan-akan telah dijustifikasi.
Sikap yang ambivalen merupakan suatu bukti bahwa budaya hukum masih begitu kuat dalam sistem penegakan hukum di Indonesia.
Yang dimaksud budaya hukum, sebagaimana dikatakan Lawrence M. Friedman “what is a legal system” adalah sikap orang terhadap hukum yang mencakup kepercayaan akan nilai, pikiran atau ide harapan orang tersebut.
Atau pengertian budaya hukum dapat dikatakan ialah berupa sikap, nilai-nilai, dalil-dalil, postulat kepercayaan dan pendapat yang dipercayai oleh masyarakat, dalam suatu sistem hukum dan menjadi bagian penting yang menjadi faktor penghambat atau penegakan hukum.
Sikap ambivalen yang merupakan bentuk memelihara harmoni sosial daripada kepastian hukum malahan menimbulkan adanya disharmoni, dan sikap demikian tidak jauh sebagaimana dikatakan secara tegas oleh Daniel S. Lev dan Jaspan bahwa masyarakat di mana sistem hukum pluralistik terdapat kecenderungan adanya konflik untuk tetap dipertahankan.
Perbedaan pendapat dan konflik yang ada, yang apabila tidak segera diselesaikan akan menimbulkan image kurang baik terhadap penegakan hukum, termasuk di dalamnya para advokat, masyarakat menjadi sinis dan bersikap abai.
Indonesia dengan ideologi Pancasila telah mengajarkan adanya musyawarah mufakat bahkan dalam pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 alinea keempat menyebutkan “... Peraturan Indonesia dan Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/ perwakilan ...”
Oleh karena itu, diperlukan solusi berupa duduk bersama bersilaturahim, bermusyawarah untuk mufakat, mencari, dan menemukan solusi yang terbaik atau dicarikan win win salution agar segera terbentuk organisasi advokat.
Apabila dapat ditempuh upaya tersebut di atas, hal itu akan sejalan dengan profesi advokat yaitu bahwa advokat sebagai profesi yang bebas, mandiri dan bertanggung jawab dalam menegakkan hukum.
Para advokat adalah manusia makhluk ciptaan Allah, penyandang profesi yang baik dan terhormat, dan sebagai manusia makhluk ciptaan Allah telah dijelaskan bahwa manusia pada dasarnya adalah makhluk yang terbaik, hal itu dapat dilihat dalam firman-Nya, surah at-Tin (Pohon Tin, 3, 95:4): “Laqad khalaqnal insaana fit ahsani taqwim, artinya kurang lebih sesungguhnya manusia itu telah kami ciptakan dalam bentuk yang sebaik-baiknya.”
Prinsip mengalah bukan berarti kalah, bukankah dalam butir-butir budaya Jawa dikatakan Wong iku kudu ngudi kebecikan jalaran kebecikan itu sanguning urip, “One must seek good, as good is required in life”.
Adanya semboyan "Fiat yustitia ruat coelum” sekalipun langir akan runtuh hukum harus tetap ditegakkan, dan hendaknya terdapat prinsip ti ji ti beh, Mukti siji mukti kabeh, dan harus dijauhkan arti itu menjadi mukti siji mati kabeh. Selamat juang untuk masa depan hukum yang lebih baik.
Akhirnya, masyarakat hukum umumnya dan khususnya para advokat lainnya berhadap segera terbentuknya organisasi advokat, sebagaimana ditentukan oleh undang-undang, sebab sampai saat ini sudah hampir 4 (empat) tahun terlambat terhitung undang-undang ini disahkan tanggal 5 April 2003, dikaitkan dengan ketentuan peralihan Pasal 32 Ayat (4): Dalam waktu paling lambat 2 (dua) tahun setelah berlakunya undang-undang ini organisasi advokat telah terbentuk.
Dalam undang-undang ini, Bab X Organisasi Advokat, Pasal 28 Ayat (1): Organisasi merupakan satu-satunya wadah profesi advokat yang bebas dan mandiri yang dibentuk sesuai dengan ketentuan undang-undang ini dengan maksud dan tujuan untuk meningkatkan kualitas profesi advokat, mengandung multitafsir.
Diperlukan solusi bagi yang berbeda pendapat untuk duduk bersama, bersilaturrahmi, bermusyawarah untuk mufakat, mencari dan menemukan solusi yang terbaik atau dicarikan win win Solutions agar segera terbentuk organisasi advokat.
Undang-Undang No. 18 Tahun 2008 tentang Advokat, khususnya Pasal 28 Ayat (1) mengandung multitafsir diperlukan adanya kebersamaan para advokat untuk duduk bertatap muka bersilaturahim agar segera terbentuknya organisasi advokat, dengan prinsip mengalah bukan berarti kalah, bukankah dalam butir-butir budaya Jawa dikatakan Wong iku kudu ngudi kebecikan jalaran kebecikan itu sanguning urip, One must seek good, as good is reired in life.
Akhirnya semboyan “Fiat yustitia ruat coelum” sekalipun langit akan runtuh hukum harus tetap ditegakkan, selamat juang untuk masa depan hukum yang lebih baik.
Daftar Pustaka
A. Buku
Dellyana Shanty, 1988. Wanita dan Anak di Mata Hukum, Liberty : Yogyakarta.
Gultom Maidin, 2006. Perlindungan Hukum Terhadap Anak Dalam Sistem Peradilan Pidana Anak di Indonesia. Rafika Aditama : Bandung.
Soeharto, 2004. H. Perlindungan Hak Tersangka, Terdakwa, dan Korban Tindak Pidana Terorisme. Refika Aditama : Bandung.
Soekanto, Soerjono. 1983. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Raja Grafindo Persada : Jakarta.
Sunggono, Bambang. 1997. Metode Penelitian Hukum. Raja Grafindo Persada : Jakarta
Wahid, Abdul. 2004. Kejahatan Terorisme, Refika Aditama : Bandung.
B. Peraturan Perundang-undangan
Undang-undang No.8 Tahun 1981 tentang, Hukum Acara Pidana (KUHAP), oleh Kajadi, M dan Soesilo, R. Politea : Bogor.
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHAP), oleh Soesilo, R. Politeia: Bogor
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999, Tentang Hak Asasi Manusia (HAM).
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002, Tentang Perlindungan Anak.
0 komentar:
Post a Comment