PENEGAKAN PERAN PERS DI ERA GLOBALISASI
Oleh : H. Tontowi Fadeli, SH., M.Hum
Abstraksi : Kebutuhan Asasi setiap insan dan komunitas masyarakat dalam dunia pers adalah sangat primer, karena dengan adanya pers masyarakat dapat memperoleh informasi, melakukan kontrak sosial dan menyatakan pendapatnya. Dengan demikian keberadaan pers berkolerasi dengan penegakan HAM, Keadilan, dan Demokrasi.
Adanya kontrak Sosial pers yang efektif, akan mencegah timbulnya praktek ketidakadilan dalam kehidupan politik, ekonomi, dan hukum, penyalah gunaan kekuasaan, korupsi, dan segala bentuk kejahatan akan selalu memperlemah dan merugikan masyarakat dan negara.
Kuatnya kontrol sosial pers akan mempererat kohesi sosial masyarakat Indonesia yang majemuk dalam etnis dan plural diberbagai agama.
Keberadaan pers sejatinya merupakan kebutuhan asasi setiap insan dan komunitas masyarakat, karena dengan adanya pers masyarakat dapat memperoleh informasi, melakukan kontrol sosial dan menyatakan pendapatnya. Dengan demikian keberadaan pers berkorelasi dengan penegakan HAM, keadilan dan demokrasi.
Adanya kontrol sosial yang efektif, akan mencegah timbulnya praktek ketidakadilan dalam kehidupan politik, ekonomi, dan hukum. Ketidakadilan, penyalahgunaan kekuasaan, korupsi, dan segala bentuk kejahatan akan selalu memperlemah dan merugikan masyarakat dan negara. Kuatnya kontrol sosial pers akan mempererat kohesi sosial masyarakat Indonesia yang majemuk dalam etnis dan plural dalam agama.
Postulat moral dikeluarkannya Undang-Undang Pers No. 40 tahun 1999, antara lain adalah dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang demokratis, kemerdekaan menyatakan pikiran dan pendapat sesuai dengan hati nurani dan hak memperoleh informasi, merupakan hak asasi manusia yang hakiki, yang diperlukan untuk menegakkan keadilan dan kebenaran, mengajukan kesejahteraan umum, dan mencerdaskan kehidupan bangsa. Dari landasan kelahiran UU Pers tersebut terlihat bahwa keberadaan pers yang bebas, merupakan kebutuhan asasi dalam suatu negara demokrasi.
Merawat demokrasi yang telah dicapai setelah era orde baru, merupakan kewajiban asasi segenap komponen bangsa. Masyarakat madani (civil society) yang didalamnya tidak lepas dari media massa, LSM, perguruan tinggi dan ormas, bertanggung jawab untuk menjaga dan membangun negara hukum yang demokratis.
Tegaknya negara hukum tidak lepas dari pilar yang menyanggahnya, yaitu kedaulatan hukum, tegaknya hak asasi manusia. Dalam Pasal 2 UU No. 40 Tahun 1999, disebutkan bahwa kemerdekaan pers adalah salah satu wujud kedaulatan rakyat yang berasaskan prinsip-prinsip demokrasi, keadilan dan supremasi hukum. Dari pasal tersebut terlihat bahwa eksistensi peran pers bersinergi dengan institusi penegak hukum. Saling keterkaitan antara peran pers dan penegakan hukum juga tercermin dalam Pasal 6 UU No. 40 Tahun 1999, yang menentukan tentang peran Pers Nasional, yaitu: a) memenuhi hak masyarakat untuk mengetahui; b) menegakkan nilai-nilai dasar demokrasi, mendorong terwujudnya supremasi hukum, dan hak asasi manusia, serta menghormati kebhinekaan; c) mengembangkan pendapat umum berdasarkan informasi yang tepat, akurat, dan benar; d) melakukan pengawasan, kritik, koreksi, dan saran terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan umum; e) memperjuangkan keadilan dan kebenaran.
Ada titik singgung persamaan antara pers dengan lembaga peradilan untuk menegakkan Kebenaran dan Keadilan dan menghormati HAM.
Landan konstitusional yang dipakai UU Pers No. 40 Tahun 1999 adalah Pasal 5 Ayat (1), Pasal 20 Ayat (1), Pasal 27, dan Pasal 28 UUD 1945. Hingga saat ini UUD 1945 telah mengalami Perubahan Keempat pada tanggal 10 Agustus 2002. Perubahan UUD yang berada di ranah KOSMOS, sebagai konsekuensi adanya CHAOS, juga diikuti perubahan dalam ranah LOGOS dan TEKNOLOGOS. Dalam ranah logos banyak undang-undang y ang terkait dengan PERAN PERS, antara lain UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM, UU No. 32 Tahun 2002 tentang Penyairan, UU No. 14 Tahun 2008 tentang Kebebasan untuk Memperoleh Informasi Publik, dan lain sebagainya.
Pembentukan berbagai undang-undang di negara kita Indonesia juga tidak lepas dari pengaruh hukum atau konvensi-konvensi internasional yang masuk menjadi hukum nasional, sebagai konsekuensi era global dewasa ini. Baik melalui proses ratifikasi, adopsi, maupun costumary International Law. Negara Indonesia telah mengadopsi Statuta Roma dalam UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, meratifikasi International Covenant on civil and Political Rights (ICCPR) melalui Undang-undang No. 12 Tahun 2005. Dalam covenant ini pada pasal 19 dengan tegas dinyatakan:
1. Setiap orang berhak untuk berpendapat tanpa mendapatkan campur tangan.
2. Setiap orang berhak atas kebebasan mengemukakan pendapat; hak ini harus meliputi kebebasan untuk mencari, menerima dan memberikan informasi dan semua jenis pemikiran, terlepas dari pembatasan-pembatasan, secara lisan, tulisan atau cetakan dalam bentuk karya seni atau melalui sarana lain yang menjadi pilihannya sendiri.
3. Pelaksanaan hak-hak yang diberikan dalam Ayat (2) pasal ini menimbulkan kewajiban-kewajiban dan tanggung jawab khusus, oleh karena itu, dapat dikenai pembatasan-pembatasan tertentu, tetapi hal ini hanya dapat dilakukan sesuai dengan hukum dan hanya sepanjang diperlukan untuk: a) Menghormati hak-hak dan nama baik orang lain, b) Melindungi keamanan nasional atau ketertiban umum atau kesehatan atau kesusilaan umum.
Dalam merespons tuntutan perkembangan sosial jenjang hak masyarakat untuk memperoleh informasi, Mahkamah Agung telah mengeluarkan SK KMA No. 144/KMA/SK/VIII/2007 tentang Keterbukaan Informasi di Pengadilan.
Yang memuat 35 pasal yang ditetapkan tanggal 28 Agustus 2007.
Dalam mengadili perkara Pemimpin Redaksi Majalah “Tempo” Mahkamah Agung membebaskan Bambang Harimurti yang dituduh melakukan penghinaan dalam suatu tulisan berita.
Dalam Perkara Kasasi No. 2256K/Pdt/2004 antara Rommy Fibri (Aji) melawan Kepala Kepolisian RI, Mahkamah Agung mengabulkan permohonan kasasi Pimpinan Redaksi Koran Berita “Merdeka”, dan beberapa lagi perkara yang sejenis.
Arena berpikir dari para hakim baik dalam domain Jude factie yang disyaratkan mempergunakan metode berpikir induktif maupun domain Jude juris yang mempergunakan metode berpikir deduktif senantiasa berada dalam bingkai norma, asas, dan nilai. Terhadap pers atau insan pes yang melaksanakan tugas jurnalistiknya secara profesional, maka sejatinya penegak hukum harus menerapkan Fungsi Protektif hukum, yaitu melindungi hak pers atau insan pers. Dalam perkara No. 490K/Pld/2008 atas nama Terdakwa Afdhal Azini Jambak dari Koran_Transparan Palembang yang didakwa melakukan fitnah terhadap seorang pejabat, di pengadilan tingkat pertama dan tingkat banding terdakwa dijatuhi pidana, tetapi di tingkat kasasi terdakwa diputus bebas dari dakwaan (vrijspraak), karena tidak terbukti melakukan fitnah dan dalam melakukan tugas jurnalistiknya telah memenuhi standar profesionalisme dan sesuai dengan Kode Etik Jurnalistik, sehingga menurut Mahkamah Agung Insan Pers tersebut wajib dilindungi oleh hukum.
Dalam Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 13 Tahun 2008 tentang Meminta Keterangan Saksi Ahli, disebutkan : Sehubungan dengan banyaknya perkara-perkara yang diajukan ke pengadilan yang berhubungan dengan delik. Pers, maka untuk memperoleh gambaran objektif tentang ketentuan-ketentuan yang berhubungan dengan Undang-Undang Pers, maka hakim dapat meminta keterangan dari seorang ahli di bidang pers. Oleh karena itu, dalam penanganan/pemeriksaan perkara-perkara yang terkait dengan delik pers hendaknya majelis mendengar/meminta keterangan saksi ahli dari dewan pers, karena merekalah yang lebih mengetahui seluk beluk pers tersebut secara teori dan praktik.
Hal-hal tersebut di atas menunjukkan bagaimana Mahkamah Agung secara institusional memiliki Concern yang mendalam terhadap pentingnya peran pers dalam penegakan supremasi hukum dan terwujudnya demokrasi.
Dalam penegakan hukum yang menyangkut penanggulangan korupsi, peran aktif masyarakat (Pers, LSM, Perguruan Tinggi, Ormas) dijamin secara yuridis. Sebagaimana diatur dalam Pasal 41 Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Demikian pula memerdekakan pers harus dijaga oleh semua komponen bangsa, agar tidak terjadi oligarki kekuasaan politik dan dominasi kekuatan ekonomi sekelompok orang yang merugikan perjalanan kehidupan bangsa. Pers berperan menjaga ekuilibrium otoritas kekuasaan negara antara eksekutif, eksekutif dan yudikatif serta pelaksanaan hak-hak strategis rakyat yang telah dijamin dalam berbgai aturan hukum. Kekuasaan politik dan kekuasaan elektoral, selalu berpotensi disalahgunakan dalam bentuk korupsi politik, akan tetapi pada saat yang sama keberadaan otoritas kekuasaan politik dan kekuasaan elektoral itu diperlukan agar tidak terjadi kekacauan (chaos) dalam kehidupan bernegara. Apabila dalam kondisi negara Indonesia yang masih mengidap penyakit kanker korupsi politik, maka kontrol sosial dari pers merupakan kebutuhan vital, agar radikal bebas virus korupsi politik tidak menjalar ke seluruh organ tubuh kekuasaan negara.
Kekhawatiran “Bapak Konstitusi” negara Amerika Serikat ternyata terbukti dalam realita dalam kehidupan bernegara di Korea Utara. Kendatipun konstitusi negara tersebut menjamin kebebasan hak-hak dasar rakyatnya, antara lain hak kebebasan menyatakan pendapat dan hak berdemonstrasi, tetapi pemerintah otoritarian Kim Jong II melalaikan hak-hak tersebut sehingga rata-rata rakyat Korea Utara tidak tahu tentang hak-hak tersebut sehingga rata-rata rakyat Korea Utara tidak tahu tentang hak-hak mereka yang dijamin dalam konstitusi negaranya.
Kendati kemerdekaan pers telah dijamin dan UU Pers No.40 Tahun 1999, dan diperkuat dengan undang-undang lain, seperti UU No.39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (HAM), UU No.32 Tahun 2002 tentang Penyiaran, UU No.12 Tahun 2005 tentang pengesahan ICCPR (International Covenant on Civil and Political Rights), UU No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik, serta adanya kekhawatiran terhadap efek dari UU Rahasia Negara meskipun masih berupa RUU pada tahun 1999. Hal itu semua menunjukkan bahwa mempertahankan dan meningkatkan kemerdekaan pers dewasa ini harus merupakan continuum atau tahapan yang terus berkelanjutan dan menegakkan demokrasi dan supremasi hukum.
DAFTAR PUSTAKA
Diamond, Larry, The Spirit of Democracy, Henry Holt and Company, New York, 2008.
Ncrone, John, Violence Against The Press, Oxyord Unviersity Press, New York, 1994.
Overback, Wayne & Pullen, Rick D., Major Principle of Media Law, CBS Lolege Publishing, New York. 1985.
Pember, Dor R., Mass Media Law, Brown & Benchmark, Madison, MI, 1997.
Sen, Amartya, The Idea of justice, Penguin Group, New York, 2009.
Smith, Jeffrey A., War and Press Freedom, The Problem of Prerogative Power, Oxford University Press, New York, 1999.
The Wall Street Journal, October 2-4, 2009.