:::: MENU ::::
  • STIH SUNAN GIRI - MALANG

  • DOKUMENTASI MAHASISWA

Wednesday, 25 May 2016

Skripsi adalah sebuah karya tulis yang disusun oleh mahasiswa berdasarkan Penelitian Hukum untuk memenuhi persyaratan memporeh Gelar Sarjana (S1).
Berikut adalah Pedoman Penulisan Skripsi yang dapat membantu teman-teman dalam penyusunan skripsi Program Pendidikan Sarjana (S1) Program Studi Ilmu Hukum 

Sunday, 22 May 2016

PENEGAKAN PERAN PERS DI ERA GLOBALISASI 




 Oleh : H. Tontowi Fadeli, SH., M.Hum

 Abstraksi : Kebutuhan Asasi setiap insan dan komunitas masyarakat dalam dunia pers adalah sangat primer, karena dengan adanya pers masyarakat dapat memperoleh informasi, melakukan kontrak sosial dan menyatakan pendapatnya. Dengan demikian keberadaan pers berkolerasi dengan penegakan HAM, Keadilan, dan Demokrasi. Adanya kontrak Sosial pers yang efektif, akan mencegah timbulnya praktek ketidakadilan dalam kehidupan politik, ekonomi, dan hukum, penyalah gunaan kekuasaan, korupsi, dan segala bentuk kejahatan akan selalu memperlemah dan merugikan masyarakat dan negara. 

 Kuatnya kontrol sosial pers akan mempererat kohesi sosial masyarakat Indonesia yang majemuk dalam etnis dan plural diberbagai agama. Keberadaan pers sejatinya merupakan kebutuhan asasi setiap insan dan komunitas masyarakat, karena dengan adanya pers masyarakat dapat memperoleh informasi, melakukan kontrol sosial dan menyatakan pendapatnya. Dengan demikian keberadaan pers berkorelasi dengan penegakan HAM, keadilan dan demokrasi. 

Adanya kontrol sosial yang efektif, akan mencegah timbulnya praktek ketidakadilan dalam kehidupan politik, ekonomi, dan hukum. Ketidakadilan, penyalahgunaan kekuasaan, korupsi, dan segala bentuk kejahatan akan selalu memperlemah dan merugikan masyarakat dan negara. Kuatnya kontrol sosial pers akan mempererat kohesi sosial masyarakat Indonesia yang majemuk dalam etnis dan plural dalam agama. Postulat moral dikeluarkannya Undang-Undang Pers No. 40 tahun 1999, antara lain adalah dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang demokratis, kemerdekaan menyatakan pikiran dan pendapat sesuai dengan hati nurani dan hak memperoleh informasi, merupakan hak asasi manusia yang hakiki, yang diperlukan untuk menegakkan keadilan dan kebenaran, mengajukan kesejahteraan umum, dan mencerdaskan kehidupan bangsa. Dari landasan kelahiran UU Pers tersebut terlihat bahwa keberadaan pers yang bebas, merupakan kebutuhan asasi dalam suatu negara demokrasi. 

Merawat demokrasi yang telah dicapai setelah era orde baru, merupakan kewajiban asasi segenap komponen bangsa. Masyarakat madani (civil society) yang didalamnya tidak lepas dari media massa, LSM, perguruan tinggi dan ormas, bertanggung jawab untuk menjaga dan membangun negara hukum yang demokratis. Tegaknya negara hukum tidak lepas dari pilar yang menyanggahnya, yaitu kedaulatan hukum, tegaknya hak asasi manusia. Dalam Pasal 2 UU No. 40 Tahun 1999, disebutkan bahwa kemerdekaan pers adalah salah satu wujud kedaulatan rakyat yang berasaskan prinsip-prinsip demokrasi, keadilan dan supremasi hukum. Dari pasal tersebut terlihat bahwa eksistensi peran pers bersinergi dengan institusi penegak hukum. Saling keterkaitan antara peran pers dan penegakan hukum juga tercermin dalam Pasal 6 UU No. 40 Tahun 1999, yang menentukan tentang peran Pers Nasional, yaitu: a) memenuhi hak masyarakat untuk mengetahui; b) menegakkan nilai-nilai dasar demokrasi, mendorong terwujudnya supremasi hukum, dan hak asasi manusia, serta menghormati kebhinekaan; c) mengembangkan pendapat umum berdasarkan informasi yang tepat, akurat, dan benar; d) melakukan pengawasan, kritik, koreksi, dan saran terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan umum; e) memperjuangkan keadilan dan kebenaran. 

 Ada titik singgung persamaan antara pers dengan lembaga peradilan untuk menegakkan Kebenaran dan Keadilan dan menghormati HAM. Landan konstitusional yang dipakai UU Pers No. 40 Tahun 1999 adalah Pasal 5 Ayat (1), Pasal 20 Ayat (1), Pasal 27, dan Pasal 28 UUD 1945. Hingga saat ini UUD 1945 telah mengalami Perubahan Keempat pada tanggal 10 Agustus 2002. Perubahan UUD yang berada di ranah KOSMOS, sebagai konsekuensi adanya CHAOS, juga diikuti perubahan dalam ranah LOGOS dan TEKNOLOGOS. Dalam ranah logos banyak undang-undang y ang terkait dengan PERAN PERS, antara lain UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM, UU No. 32 Tahun 2002 tentang Penyairan, UU No. 14 Tahun 2008 tentang Kebebasan untuk Memperoleh Informasi Publik, dan lain sebagainya. Pembentukan berbagai undang-undang di negara kita Indonesia juga tidak lepas dari pengaruh hukum atau konvensi-konvensi internasional yang masuk menjadi hukum nasional, sebagai konsekuensi era global dewasa ini. Baik melalui proses ratifikasi, adopsi, maupun costumary International Law. Negara Indonesia telah mengadopsi Statuta Roma dalam UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, meratifikasi International Covenant on civil and Political Rights (ICCPR) melalui Undang-undang No. 12 Tahun 2005. Dalam covenant ini pada pasal 19 dengan tegas dinyatakan: 1. Setiap orang berhak untuk berpendapat tanpa mendapatkan campur tangan. 2. Setiap orang berhak atas kebebasan mengemukakan pendapat; hak ini harus meliputi kebebasan untuk mencari, menerima dan memberikan informasi dan semua jenis pemikiran, terlepas dari pembatasan-pembatasan, secara lisan, tulisan atau cetakan dalam bentuk karya seni atau melalui sarana lain yang menjadi pilihannya sendiri. 3. Pelaksanaan hak-hak yang diberikan dalam Ayat (2) pasal ini menimbulkan kewajiban-kewajiban dan tanggung jawab khusus, oleh karena itu, dapat dikenai pembatasan-pembatasan tertentu, tetapi hal ini hanya dapat dilakukan sesuai dengan hukum dan hanya sepanjang diperlukan untuk: a) Menghormati hak-hak dan nama baik orang lain, b) Melindungi keamanan nasional atau ketertiban umum atau kesehatan atau kesusilaan umum. Dalam merespons tuntutan perkembangan sosial jenjang hak masyarakat untuk memperoleh informasi, Mahkamah Agung telah mengeluarkan SK KMA No. 144/KMA/SK/VIII/2007 tentang Keterbukaan Informasi di Pengadilan. 

Yang memuat 35 pasal yang ditetapkan tanggal 28 Agustus 2007. Dalam mengadili perkara Pemimpin Redaksi Majalah “Tempo” Mahkamah Agung membebaskan Bambang Harimurti yang dituduh melakukan penghinaan dalam suatu tulisan berita. Dalam Perkara Kasasi No. 2256K/Pdt/2004 antara Rommy Fibri (Aji) melawan Kepala Kepolisian RI, Mahkamah Agung mengabulkan permohonan kasasi Pimpinan Redaksi Koran Berita “Merdeka”, dan beberapa lagi perkara yang sejenis. Arena berpikir dari para hakim baik dalam domain Jude factie yang disyaratkan mempergunakan metode berpikir induktif maupun domain Jude juris yang mempergunakan metode berpikir deduktif senantiasa berada dalam bingkai norma, asas, dan nilai. Terhadap pers atau insan pes yang melaksanakan tugas jurnalistiknya secara profesional, maka sejatinya penegak hukum harus menerapkan Fungsi Protektif hukum, yaitu melindungi hak pers atau insan pers. Dalam perkara No. 490K/Pld/2008 atas nama Terdakwa Afdhal Azini Jambak dari Koran_Transparan Palembang yang didakwa melakukan fitnah terhadap seorang pejabat, di pengadilan tingkat pertama dan tingkat banding terdakwa dijatuhi pidana, tetapi di tingkat kasasi terdakwa diputus bebas dari dakwaan (vrijspraak), karena tidak terbukti melakukan fitnah dan dalam melakukan tugas jurnalistiknya telah memenuhi standar profesionalisme dan sesuai dengan Kode Etik Jurnalistik, sehingga menurut Mahkamah Agung Insan Pers tersebut wajib dilindungi oleh hukum. 

 Dalam Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 13 Tahun 2008 tentang Meminta Keterangan Saksi Ahli, disebutkan : Sehubungan dengan banyaknya perkara-perkara yang diajukan ke pengadilan yang berhubungan dengan delik. Pers, maka untuk memperoleh gambaran objektif tentang ketentuan-ketentuan yang berhubungan dengan Undang-Undang Pers, maka hakim dapat meminta keterangan dari seorang ahli di bidang pers. Oleh karena itu, dalam penanganan/pemeriksaan perkara-perkara yang terkait dengan delik pers hendaknya majelis mendengar/meminta keterangan saksi ahli dari dewan pers, karena merekalah yang lebih mengetahui seluk beluk pers tersebut secara teori dan praktik. Hal-hal tersebut di atas menunjukkan bagaimana Mahkamah Agung secara institusional memiliki Concern yang mendalam terhadap pentingnya peran pers dalam penegakan supremasi hukum dan terwujudnya demokrasi. Dalam penegakan hukum yang menyangkut penanggulangan korupsi, peran aktif masyarakat (Pers, LSM, Perguruan Tinggi, Ormas) dijamin secara yuridis. Sebagaimana diatur dalam Pasal 41 Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. 

 Demikian pula memerdekakan pers harus dijaga oleh semua komponen bangsa, agar tidak terjadi oligarki kekuasaan politik dan dominasi kekuatan ekonomi sekelompok orang yang merugikan perjalanan kehidupan bangsa. Pers berperan menjaga ekuilibrium otoritas kekuasaan negara antara eksekutif, eksekutif dan yudikatif serta pelaksanaan hak-hak strategis rakyat yang telah dijamin dalam berbgai aturan hukum. Kekuasaan politik dan kekuasaan elektoral, selalu berpotensi disalahgunakan dalam bentuk korupsi politik, akan tetapi pada saat yang sama keberadaan otoritas kekuasaan politik dan kekuasaan elektoral itu diperlukan agar tidak terjadi kekacauan (chaos) dalam kehidupan bernegara. Apabila dalam kondisi negara Indonesia yang masih mengidap penyakit kanker korupsi politik, maka kontrol sosial dari pers merupakan kebutuhan vital, agar radikal bebas virus korupsi politik tidak menjalar ke seluruh organ tubuh kekuasaan negara. 

 Kekhawatiran “Bapak Konstitusi” negara Amerika Serikat ternyata terbukti dalam realita dalam kehidupan bernegara di Korea Utara. Kendatipun konstitusi negara tersebut menjamin kebebasan hak-hak dasar rakyatnya, antara lain hak kebebasan menyatakan pendapat dan hak berdemonstrasi, tetapi pemerintah otoritarian Kim Jong II melalaikan hak-hak tersebut sehingga rata-rata rakyat Korea Utara tidak tahu tentang hak-hak tersebut sehingga rata-rata rakyat Korea Utara tidak tahu tentang hak-hak mereka yang dijamin dalam konstitusi negaranya. Kendati kemerdekaan pers telah dijamin dan UU Pers No.40 Tahun 1999, dan diperkuat dengan undang-undang lain, seperti UU No.39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (HAM), UU No.32 Tahun 2002 tentang Penyiaran, UU No.12 Tahun 2005 tentang pengesahan ICCPR (International Covenant on Civil and Political Rights), UU No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik, serta adanya kekhawatiran terhadap efek dari UU Rahasia Negara meskipun masih berupa RUU pada tahun 1999. Hal itu semua menunjukkan bahwa mempertahankan dan meningkatkan kemerdekaan pers dewasa ini harus merupakan continuum atau tahapan yang terus berkelanjutan dan menegakkan demokrasi dan supremasi hukum. 

 DAFTAR PUSTAKA 
 Diamond, Larry, The Spirit of Democracy, Henry Holt and Company, New York, 2008. Ncrone, John, Violence Against The Press, Oxyord Unviersity Press, New York, 1994. Overback, Wayne & Pullen, Rick D., Major Principle of Media Law, CBS Lolege Publishing, New York. 1985. Pember, Dor R., Mass Media Law, Brown & Benchmark, Madison, MI, 1997. Sen, Amartya, The Idea of justice, Penguin Group, New York, 2009. Smith, Jeffrey A., War and Press Freedom, The Problem of Prerogative Power, Oxford University Press, New York, 1999. The Wall Street Journal, October 2-4, 2009.
ADVOKAT PENEGAKAN HUKUM


 Oleh : H. Moch Mochtar SH.,M.Si

 Abstrak : Advokat sebagai tugas yang mulya dimuka bumi, lebih-lebih pada masa globalisasi ini, maka kompleknya permasalahan yang terjadi, di lingkungan masyarakat luas. Profesi Advokat (pengacara) adalah profesi yang terhormat mempunyai status sebagai penegak hukum, bebas dan mandiri yang dijamin oleh hukum dan peraturan perundang-undangan (pasal 5 ayat 1 UU No.18 Tahun 2003 tentang Advokat). Bahkan Advokat juga merupakan salah satu perangkat dalam proses pengadilan yang mempunyai kedudukan setara dengan penegak hukum lainnya dalam menegakkan hukum dan keadilan.
 “This Pluralistic situation continues to have an efect on the Indonesia legal system. In other, word the existece of customary law and usage, tradisional practice, and the written law indicate the prevalence of legal pluralism”

 Fenomena yang ada pada masyarakat umum, khususnya masyarakat hukum menjadi bertanya-tanya, ada apa gerangan pada advokat yang berstatus sebagai penegak hukum tersebut? Padahal kita tahu bahwa profesi advokat (pengacara) adalah profesi yang terhormat (officium nobile), advokat berstatus sebagai penegak hukum, bebas dan mandiri yang dijamin oleh hukum dan peraturan perundang-undangan (Pasal 5 Ayat 1 UU No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat). Yang dimaksud dengan “Advokat berstatus sebagai penegak hukum” adalah advokat sebagai salah satu perangkat dalam proses peradilan yang mempunyai kedudukan setara dengan penegak hukum lainnya dalam menegakkan hukum dan keadilan. Keberadaan advokat sangat diperlukan apabila dikaitkan dengan dunia peradilan, hal ini sebagaimana tercantum dalam konsiderans hukum dalam Undang-Undang Advokat, yang bunyinya: “Kekuasaan kehakiman yang bebas dari segala campur tangan dan pengaruh dari luar, memerlukan profesi advokat yang bebas, mandiri, dan bertanggung jawab, untuk terselenggaranya suatu peradilan yang jujur, adil dan memiliki kepastian hukum bagi semua pencari keadilan dalam menegakkan hukum, kebenaran, keadilan dan hak asasi manusia. 

 Undang-undang No.18 Tahun 2003 tentang Advokat disahkan tanggal 5 April 2003, dalam ketentuan peralihan Pasal 32 Ayat 4 disebutkan, bahwa; dalam waktu paling lambat 2 (dua) tahun setelah berlakunya undang-undang ini organisasi advokat telah terbentuk. Profesi advokat ini erat hubungannya dengan kekuasaan kehakiman dan sangat diperlukan dalam menuju ke arah terselenggaranya peradilan yang jujur, adil dan memiliki kepastian hukum bagi pencari keadilan, hal ini dapat dilihat dalam konsiderans undang-undang ini. Dalam Undang-undang tentang Advokat Bab XII Ketentuan peralihan pasar 32 Ayat (3), menyebutkan: untuk sementara tugas dan wewenang organisasi advokat sebagaimana dimaksud dalam undang-undang ini, dijalankan bersama oleh Ikatan Advokat Indonesia (IKADIN), Asosiasi Advokat Indonesia (AAI), Ikatan Penasihat Hukum Indonesia (IPHI), Himpunan Advokat dan Pengacara Indonesia (SPI), serikat Pengacara Indonesia (SPI), Asosiasi Konsultasi Hukum Indonesia (AKHI), Himpunan Konsultan Hukum Pasar Modal (HKHPM), dan Asosiasi Pengacara Syariah Indonesia (APSI). Kalau kita lihat nama-nama organisasi advokat tersebut di atas, baik NAMA Persaruan Advokat Indonesia selanjutnya disebut PERADI maupun Kongres Advokat Indonesia selanjutnya disebut KAI. Tidak tercantum dalam nama kedelapan organisasi advokat yang ada. 

 Organisasi PERADI dianggap legitimitas mungkin karena pembentukannya bersama organisasi advokat yang ada, yang selanjutnya melahirkan Kode Etik Profesi Peradi dan pembentukan KIA dianggap legitimitas, mungkin karena pembentukannya berdasarkan pendiriannya pada tanggal 30-31 Mei 2008 yang dihadiri oleh lebih kurang 3.000 (tiga ribu) anggota advokat termasuk organisasi advokat yang ada. Yang kemudian mereka menjadi anggota dalam suatu forum Kongres yang terbuka, sebagaimana suatu tradisi organisasi modern apabila mengambil suatu keputusan yang kemudian melahirkan Kode Etik KAI. Sampai sekarang ini kekuasaan kehakiman salah satu di antaranya yakni Mahkamah Agung belum membereskan sikap atas eksistensi PERADI dan KAI, mungkin kesibukan dengan tugas-tugasnya, atau juga disibukkan oleh organisasi internal sendiri di mana bulan Januari 2009 dan menggelar pemilihan ketua MA, dan juga tugas rutinitas dengan berbagai perkara yang begitu banyak. Bahkan MA dapat dikatakan bersikap mendua dalam arti melayani/tidak melayani keduanya, menerima/tidak menerima keduanya dan membenarkan/tidak membenarkan keduanya (ambivalen). 

 Beberapa aktivitas yang ada di lapangan yang dijatuhkan oleh PERADI maupun KAI, seperti: a. PERADI maupun KAI dalam beracara di pengadilan dapat diterima. b. Pengangkatan advokat juga oleh kedua organisasi tersebut dapat dilakukan, seperti untuk dapat menjadi advokat harus memenuhi persyaratan antara lain lulus ujian yang diadakan oleh organisasi advokat, tercatat baru-baru ini sebanyak 4.000 (empat ribu) peserta ujian yang diselenggarakan oleh KAI. c. Dibentuknya Majelis Dewan Kehormatan di Tingkat Daerah oleh PERADI yang memeriksa dan mengadili salah seorang anggota seniornya, dibentuknya Majelis Dewan Kehormatan Tingkat Pusat dan KAI yang terdiri dari unsur Dewan Kehormatan, pakar atau tenaga ahli di bidang hukum dan tokoh masyarakat dalam memeriksa perkara banding salah seorang anggota senior advokat, telah memberikan keputusan hukumnya dan hasil keputusannya dibacakan di Jakarta dan diliput oleh berbagai media TV serta telah dimuat dalam surat kabar terkemuka di Indonesia. d. Dan beberapa peristiwa hukum lain yang seakan-akan telah dijustifikasi. Sikap yang ambivalen merupakan suatu bukti bahwa budaya hukum masih begitu kuat dalam sistem penegakan hukum di Indonesia. 
Yang dimaksud budaya hukum, sebagaimana dikatakan Lawrence M. Friedman “what is a legal system” adalah sikap orang terhadap hukum yang mencakup kepercayaan akan nilai, pikiran atau ide harapan orang tersebut. Atau pengertian budaya hukum dapat dikatakan ialah berupa sikap, nilai-nilai, dalil-dalil, postulat kepercayaan dan pendapat yang dipercayai oleh masyarakat, dalam suatu sistem hukum dan menjadi bagian penting yang menjadi faktor penghambat atau penegakan hukum. Sikap ambivalen yang merupakan bentuk memelihara harmoni sosial daripada kepastian hukum malahan menimbulkan adanya disharmoni, dan sikap demikian tidak jauh sebagaimana dikatakan secara tegas oleh Daniel S. Lev dan Jaspan bahwa masyarakat di mana sistem hukum pluralistik terdapat kecenderungan adanya konflik untuk tetap dipertahankan. Perbedaan pendapat dan konflik yang ada, yang apabila tidak segera diselesaikan akan menimbulkan image kurang baik terhadap penegakan hukum, termasuk di dalamnya para advokat, masyarakat menjadi sinis dan bersikap abai. Indonesia dengan ideologi Pancasila telah mengajarkan adanya musyawarah mufakat bahkan dalam pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 alinea keempat menyebutkan “... Peraturan Indonesia dan Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/ perwakilan ...” Oleh karena itu, diperlukan solusi berupa duduk bersama bersilaturahim, bermusyawarah untuk mufakat, mencari, dan menemukan solusi yang terbaik atau dicarikan win win salution agar segera terbentuk organisasi advokat. 

 Apabila dapat ditempuh upaya tersebut di atas, hal itu akan sejalan dengan profesi advokat yaitu bahwa advokat sebagai profesi yang bebas, mandiri dan bertanggung jawab dalam menegakkan hukum. Para advokat adalah manusia makhluk ciptaan Allah, penyandang profesi yang baik dan terhormat, dan sebagai manusia makhluk ciptaan Allah telah dijelaskan bahwa manusia pada dasarnya adalah makhluk yang terbaik, hal itu dapat dilihat dalam firman-Nya, surah at-Tin (Pohon Tin, 3, 95:4): “Laqad khalaqnal insaana fit ahsani taqwim, artinya kurang lebih sesungguhnya manusia itu telah kami ciptakan dalam bentuk yang sebaik-baiknya.” Prinsip mengalah bukan berarti kalah, bukankah dalam butir-butir budaya Jawa dikatakan Wong iku kudu ngudi kebecikan jalaran kebecikan itu sanguning urip, “One must seek good, as good is required in life”. Adanya semboyan "Fiat yustitia ruat coelum” sekalipun langir akan runtuh hukum harus tetap ditegakkan, dan hendaknya terdapat prinsip ti ji ti beh, Mukti siji mukti kabeh, dan harus dijauhkan arti itu menjadi mukti siji mati kabeh. Selamat juang untuk masa depan hukum yang lebih baik. Akhirnya, masyarakat hukum umumnya dan khususnya para advokat lainnya berhadap segera terbentuknya organisasi advokat, sebagaimana ditentukan oleh undang-undang, sebab sampai saat ini sudah hampir 4 (empat) tahun terlambat terhitung undang-undang ini disahkan tanggal 5 April 2003, dikaitkan dengan ketentuan peralihan Pasal 32 Ayat (4): Dalam waktu paling lambat 2 (dua) tahun setelah berlakunya undang-undang ini organisasi advokat telah terbentuk.
 Dalam undang-undang ini, Bab X Organisasi Advokat, Pasal 28 Ayat (1): Organisasi merupakan satu-satunya wadah profesi advokat yang bebas dan mandiri yang dibentuk sesuai dengan ketentuan undang-undang ini dengan maksud dan tujuan untuk meningkatkan kualitas profesi advokat, mengandung multitafsir. Diperlukan solusi bagi yang berbeda pendapat untuk duduk bersama, bersilaturrahmi, bermusyawarah untuk mufakat, mencari dan menemukan solusi yang terbaik atau dicarikan win win Solutions agar segera terbentuk organisasi advokat. Undang-Undang No. 18 Tahun 2008 tentang Advokat, khususnya Pasal 28 Ayat (1) mengandung multitafsir diperlukan adanya kebersamaan para advokat untuk duduk bertatap muka bersilaturahim agar segera terbentuknya organisasi advokat, dengan prinsip mengalah bukan berarti kalah, bukankah dalam butir-butir budaya Jawa dikatakan Wong iku kudu ngudi kebecikan jalaran kebecikan itu sanguning urip, One must seek good, as good is reired in life. Akhirnya semboyan “Fiat yustitia ruat coelum” sekalipun langit akan runtuh hukum harus tetap ditegakkan, selamat juang untuk masa depan hukum yang lebih baik. 

Daftar Pustaka 
 A. Buku Dellyana Shanty, 1988. Wanita dan Anak di Mata Hukum, Liberty : Yogyakarta. Gultom Maidin, 2006. Perlindungan Hukum Terhadap Anak Dalam Sistem Peradilan Pidana Anak di Indonesia. Rafika Aditama : Bandung. Soeharto, 2004. H. Perlindungan Hak Tersangka, Terdakwa, dan Korban Tindak Pidana Terorisme. Refika Aditama : Bandung. Soekanto, Soerjono. 1983. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Raja Grafindo Persada : Jakarta. Sunggono, Bambang. 1997. Metode Penelitian Hukum. Raja Grafindo Persada : Jakarta Wahid, Abdul. 2004. Kejahatan Terorisme, Refika Aditama : Bandung. B. Peraturan Perundang-undangan Undang-undang No.8 Tahun 1981 tentang, Hukum Acara Pidana (KUHAP), oleh Kajadi, M dan Soesilo, R. Politea : Bogor. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHAP), oleh Soesilo, R. Politeia: Bogor Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999, Tentang Hak Asasi Manusia (HAM). Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002, Tentang Perlindungan Anak.
Bagi mahasiswa yang akan mengikuti ujian Skripsi pada tanggal 11 Juni 2016, Diharap mengumpulkan berkas skripsi 2 bendel pada Bag. Akademik Paling lambat tanggal 28 Mei 2016 Jadwal Ujian skripsi dapat dilihat di Papan Pengumuman Kampus STIH "Sunan Giri" Malang Syarat dan Ketentuan berlaku.
A call-to-action text Contact us