:::: MENU ::::
  • STIH SUNAN GIRI - MALANG

  • DOKUMENTASI MAHASISWA

STIH SUNAN GIRI

Friday, 30 November 2018


PENGATURAN PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA KORPORASI
AKIBAT BENCANA INDUSTRI DALAM IUS CONSTITUTUM
DI INDONESIA

Bisma Putra Mahardhika, S.H., M.H
Dosen Sekolah Tinggi Ilmu Hukum Sunan Giri Malang
Email : bismapm5007@gmail.com

Abstract
The objectives of research are (1) to identify and to explain criminal responsibility due to corporate-induced industrial disaster through ius constitutum perspective or positive law of Indonesia and its comparison to European Union, and (2) to understand and to explain the urgency of criminal responsibility arrangement due to corporate-induced industrial disaster through ius constituendum perspective or the law that will be prevailed in Indonesia. Research uses normative juridical method with statute approach, case approach, and comparative approach methods. Primary, secondary and tertiary law materials are analyzed using analysis descriptive technique by relating to the principles of law and by basing theories of law on the problem that will be discussed. Result of research indicates that the arrangement of Indonesia positive law is manifested through several statutes such as Act No.4 of 2009, Act No.32 of 2009 and Act No.24 of 2007. The statutes, however, do not specifically regulate the industrial disaster. European Union recognizes industrial disaster with term Saveso Directive. This arrangement in European Union is aimed to prevent big accident due to mechanism error of industrial activities. Therefore, the arrangement of industrial disaster through ius constituendum is important for preventive step to prevent industrial disaster in Indonesia. It is also needed then that Act No.24 of 2007 of Disaster Cooptation must be revised, or in other words, there shall be industrial disaster arrangement, through which big disaster or accident is due to mechanism error in the industrial activity process by reducing or minimizing industrial disaster risk in order to produce justice, certainty, and utilization for the community as the victim of industrial disaster.
Keyword : Arrangement, Criminal Responsibility, Industrial Disaster, Corporation.



A.    Pendahuluan
Indonesia dengan kekayaan alam yang luar biasa, mendapat julukan zamrud khatulistiwa menunjukan begitu melimpahnya kandungan mineral berharga yang ada di dalam wilayah Indonesia contohnya Gunung Grasberg yang dikelola PT Freeport Mc Morran dikenal dengan kandungan tembaga, emas dan bahkan  uranium yang sangat besar, tambang minyak di blok cepu yang berpotensi mampu menghasilkan lebih dari 300.000 ribu barel minyak per harinya, tambang batubara di Kalimantan dan Sumatera yang melimpah, Gunung Kapur yang melimpah di daerah Tuban yang digunakan sebagai bahan baku semen dan masih banyak lainya seperti timah, aspal, pasir besi dan lain lain. Pesisir dan lautan juga tidak kalah pentingnya dalam menghidupi rakyat Indonesia dengan potensi kelautan mencapai US$ 1,2 Triliyun per tahun atau 10 kali APBN 2012 dan didalamnya mengandung potensi perikanan sekitar 6,7 juta ton[1]. Anugerah yang besar ini menjadikan negara kita mampu mengandalkan hasil alamnya menjadi mesin ekonomi untuk mendapatkan pemasukan keuangan untuk melakukan pembangunan.
Kekayaan Sumber Daya Alam luar biasa yang dimiliki oleh Indonesia, menjadikan Indonesia dilirik oleh para investor untuk dijadikan tempat berinvestasi terutama dalam bidang manufaktur termasuk pengolahan sumber daya alam dikarenakan mudahnya mendapatkan bahan baku dari alam serta sebagai tempat pemasaran produk-produk yang dihasilkan oleh  industri tersebut dengan jumlah penduduknya yang besar, dan keberadaan industri pada saat sekarang ini sudah tidak dapat dihindari lagi. Akibat perkembangan industri di Indonesia yang semakin pesat, menjadikan masyarakat di Indonesia menggantungkan hidupnya kepada berbagai macam barang atau produk dari hasil kegiatan industri untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dikarenakan pola hidup masyarakat yang konsumtif dan meningkatnya daya beli masyarakat.
Tuntutan akan pemenuhan kebutuhan masyarakat, menjadikan korporasi melakukan segala upaya untuk pemenuhan kebutuhan masyarakat, tanpa memikirkan dampak yang akan terjadi. Seperti halnya eksploitasi besar-besaran yang akan mengakibatkan suatu bencana, selain tuntutan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat, tujuan utama dari korporasi adalah mencari keuntungan yang sebesar-besarnya, dengan ini korporasi menghiraukan prosedur-prosedur dan aturan-aturan yang ditetapkan dalam pertaruan untuk melakukan kegiatan industri. Sehingga hal tersebut mengakibatkan suatu bencana yang disebabkan oleh aktivitas industri, bencana inilah yang dimaksud dengan bencana industri.
Contoh bencana industri yang pernah terjadi yaitu Pembangunan bendungan di sungai yang menuju laut Aral yang berada di Kazakhstan dan Uzbekistan. Pada awalnya laut aral merupakan danau terbesar keempat di dunia dengan luas mencapai 68.000 km persegi. Akan tetapi sejak pembangunan bendungan untuk kepentingan pertanian di sungai yang bermuara ke laut aral pada tahun 1960 an oleh pemerintah Uni Soviet, luasan laut aral terus menyusut. Publikasi United Nation Environment Programme menyatakan bahwa sejak dibangunnya bendungan-bendungan tersebut telah terjadi penyusutan pada luas laut aral menjadi 50 % dari semula, kehilangan dua per tiga dari total volume air ditandai dengan penurunan permukaan air sebesar 17 meter dan terjadinya peningkatan konsentrasi garam.[2]
Contoh lainnya yaitu pada tahun 1976, terjadi sebuah ledakan reaktor kimia di Meda Italia. Ledakan telah menyebabkan udara dekat permukaan tanah pada area sepanjang enam kilometer dan lebar satu kilometer, bencana ini kemudian menyebabkan jatuhnya korban di enam kota di sekitar milan[3]. Kemudian dari kejadian bencana industri ini Uni Eropa membuat suatu peraturan mengenai bencana industri yang diberi sebutan dengan “Seveso Directive”. Direktif ini berkaitan dengan pencegahan kecelakaan besar yang mungkin timbul dari kegiatan industri.
Contoh kasusnya di Indonesia seperti kasus luapan lumpur Lapindo adalah salah satu contoh kebijakanpembangunan yang dalam implementasinya telah terjadi pergeseranorientasi, yaitu kebijakan pembangunan yang cenderung mengabaikan faktorkelestarian lingkungan.Lapindo Brantas Inc. melakukan pengeboran gas melalui perusahaan kontraktor pengeboran PT. Medici Citra Nusantara yang merupakan perusahaan afiliasi Bakrie Group. Kontrak itu diperoleh Medici dengan tender dari Lapindo Brantas Inc. senilai US$ 24 juta[4]. Namun dalam hal perijinannya telah terjadi kesimpangsiuran prosedur dimana ada beberapa tingkatan ijin yang dimiliki oleh lapindo. Hak konsesi eksplorasi Lapindo diberikan olehpemerintah pusat dalam hal ini adalah Badan Pengelola Minyak dan Gas (BPMIGAS), sementara ijin konsensinya diberikan oleh Pemerintah Propinsi Jawa Timur sedangkan ijin kegiatan aktifitas dikeluarkan oleh Pemerintah Daerah (Pemda) Kabupaten Sidoarjo yang memberikan keleluasaan kepada Lapindo untuk melakukan aktivitasnya tanpa sadar bahwa Rencana TataRuang (RUTR) Kabupaten Sidoarjo tidak sesuai dengan rencana eksplorasidan eksplotasi tersebut[5].
Untuk menyelesaikan permasalahan akibat adanya bencana industri ini, di Indonesia belum ada satupun Undang-undang yang membahas mengenai bencana industri yang diakibatkan dari kegiatan industri, antara lain pada Undang-undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, kemudian dalam Undang-undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, belum secara spesifik mengatur mengenai bencana industri.
Tidak hanya Undang-undang yang disebutkan Penulis diatas yang belum mampu menyelesaikan permasalahan industri yang diakibatkan oleh aktivitas industri yang terjadi di Indonesia, tetapi juga ada Peraturan Presiden No. 14 Tahun 2007, Peraturan Presiden No. 48 Tahun 2008, Peraturan Presiden No. 40 Tahun 2009, Peraturan Presiden No. 68 Tahun 2011, dan Peraturan Presiden No. 37 Tahun 2012 tentang Badan Penanggulangan Bencana Lumpur Lapindo yang sampai sekarang ini belum mampu menyelesaikan permasalahan luapan lumpur lapindo.
Oleh karena itu dipandang perlu adanya pengaturan mengenai bencana industri dan perlindungan bagi korban akibat bencana industri agar tidak terjadi kekosongan hukum apabila terjadi permasalahan atau bencana yang diakibatkan dari aktivitas industri. Bencana yang diakibatkan oleh aktivitas industri ini terjadi bukan hanya karena kesalahan yang disengaja ataupun yang  tidak disengaja dalam proses mekanisme industri, dan gagal teknologi saja, tetapi keberhasilan teknologipun juga bisa menjadikan suatu bencana dengan sekala besar.
B.     Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas dapat dirumuskan suatu masalah sebagai berikut :
1.      Bagaimana pengaturan Pertanggungjawaban pidana akibat Bencana industri oleh korporasi dalam Ius Constitutum atau hukum positif di Indonesia dan perbandingannya dengan Uni Eropa?
2.      Apa urgensi pengaturan pertanggungjawaban pidana akibat bencana industri oleh korporasi dalam Ius Constituendum atau hukum yang akan datang di Indonesia?


C.    Pembahasan
1.      Metode Penelitian
Penelitian tentang Urgensi Pengaturan Prtanggungjawaban Pidana Akibat Bencana Industri oleh Korporasi ini merupakan jenis penelitian hukum normatif. Metode pendekatan ini menggunakan metode pendekatan perundang-undangan (statute approach), pendekatan kasus (case approach), dan pendekatan perbandingan (comparative approach). Bahan hukum primer, sekunder, dan tersier yang diperoleh penulis akan dianalisis dengan menggunakan teknik deskriptif analisis  dengan mengaitkan asas-asas hukum dan berdasar pada teori-teori hukum yang terkait dengan permasalahan yang ingin dibahas.
2.      Hasil Penelitian
A.  Pengaturan Bencana Industri dalam Ius Constitutum dan Penerapannya di Uni Eropa.
a.      Latar Belakang terjainya Bencana Industri
Bencana industri terjadi karena adanya kesalahan mekanisme dalam melaksanakan aktivitas industri. Kesalahan mekanisme yang terjadi bisa karena kesengajaan atau kealpaan, sehingga mengakibatkan bencana besar yang dampaknya secara besar juga yaitu bukan hanya terhadap lingkungan hidup saja melainkan juga sosial, dan ekonomi masyarakat yang menjadi korban yang diakibatkan dari kesalahan mekanisme aktivitas industri tersebut. Adapun contoh bencana yang terjadi akibat kesalahan mekanisme dalam aktivitas industri yang terjadi di Indonesia adalah luapan lumpur panas lapindo.
b.      Pengaturan Bencana Industri dalam Ius Constitutum
Kasus Bencana Industri merupakan permasalahan politik, disini terlihat tidak ada penyelesaian dalam kasus Luapan Lumpur Lapindo ini, sedangkan kasus luapan lumpur lapindo ini mulai tahun 2006, sampai sekarang pun belum ada penyelesaian terhadap kasus ini. Hal tersebut dikarenakan pemilik PT. Medici Citra Nusantara ini merupakan salah satu penguasa yang ada di Indonesia. Selain karena faktor politik, tidak adanya penyelesaian kasus mengenai Bencana Industri tersebut karena terjadi Vacum Of Law yaitu kekosongan hukum.
Di Indonesia tidak ada hukum yang mengatur mengenai Bencana Industri. Hanya beberapa Undang-Undang saja yang mengaturnya tetapi tidak secara spesifik tentang bencana industri, diantaranya:
Undang-undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, dan Undang-undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, merumuskan ketentuan pidana sebagai berikut:
Pada Undang-undang Pertambangan menjelaskan terkait pelanggaran perijinan dibidang Pertambangan, seperti yang diketahui bahwa merupakan gerbang dari setiap kebijakan, apabila perijinan selama ini dikeluarkan dengan tidak seksama akan merugikan banyak pihak terutama para pihak yang berkaitan langsung dengan kegiatan pertambangan seperti masyarakat lingkar tambang dan dalam Undang-undang pertambangan ini juga mengatur mengenai tambang-tambang apa saja yang boleh digali.
Dalam Undang-undang Lingkungan hidup orang atau badan hukum melakukan tindak pidana yaitu orang yang melakukan perbuatan yang mengakibatkan dilampauinya baku mutu udara ambien, baku mutu air, baku mutu air laut, atau criteria baku mutu kerusakan lingkungan. Pencemaran lingkungan hidup yang dimaksud adalah masuk atau dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi, dan/atau komponen lain kedalam lingkungan hidup oleh kegiatan manusia sehingga melampaui baku mutu lingkungan hidup yang telah ditetapkan. Pada Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, belum secara spesifik mengatur mengenai bencana Industri, karena bencana industri dampaknya tidak hanya pada lingkungan hidup saja melainkan juga dampak sosial dan ekonomi. Seperti  yang sudah dipaparkan pada bagian awal mengenai dampak-dampak yang ditimbulkan akibat Luapan Lumpur lapindo yang dampaknya bukan hanya pada Lingkungan hidup tetapi juga sosial, ekonomi, bahkan kebudayaan. Melihat dari ketentuan-ketentuan yang ada pada Undang-undang Lingkungan hidup ini dalam pengaturannya masih memberikan porsi yang banyak  dan lebih menekankan kepada perusakan lingkungan.
Seperti halnya dalam Undang-undang Pertambangan Mineral dan Batubara, Undang-undang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, Undang-undang Penanggulangan Bencana ini juga tidak membahas secara spesifik mengenai bencana industri yang diakibat dari aktivitas industri. Sedikit menyinggung mengenai bencana industri akan tetapi tidak menjelaskan secara lengkap mengenai bencana industri yaitu dengan menyebutkan dan menjelaskannya sebagai bencanan non alam.
Kemudian yang menjadikan suatu pertanyaan yaitu bagaimana penyelesaian permasalahan apabila terjadi bencana industri di Indonesia, sedangkan tidak dapat dipungkiri bahwa kasus bencana industri akan terjadi di Indonesia melihat bahwa Indonesia merupakan Negara yang kaya akan wilayah perindustrian. Setiap provinsi di Indonesia rata-rata terdapat sebuah industri yang berkapasitas besar, pada saat ini saja sudah ada salah satu kasus yang berkaitan dengan penanganan industri yang salah yaitu terjadinya luapan lumpur panas di Kecamatan Porong Kabupaten Sidoarjo Jawa Timur yang terjadi pada tahun 2006 dan sampai sekarang ini belum ada penyelesaiannya. Maka dari itu dibutuhkan pengaturan yang berkaitan dengan bencana industri di Indonesia.
Sebuah peraturan perundang-undang itu seharusnya mejelaskan secara jelas pengaturan terkait perbuatan yang dianggap tindak pidana, dan menjelaskan secara rinci perbuatan yang dimaksud tindak pidana, dalam hal ini perbuatan yang dimaksud yaitu melakukan kesalahan mekanisme dalam proses aktivitas industri yang mengakibatkan terjadinya bencana besar. Oleh karena itu penting adanya pengaturan terkait bencana industri di Indonesia untuk memberikan kepastian hukum terkait pengaturan bencana industri demi terciptanya tujuan hukum yaitu keadilan, kepastian, dan kemanfaatan.
c.       Pengaturan Bencana Industri di Uni Eropa
Adanya Bencana Seveso ini akhirnya mendorong para pembuat kebijakan Eropa untuk mengimplemenasikan serangkaian kebijakan publik yang inovatif dalam mengelola aktivitas industri yang berbahaya. Yang paling jelas, Parlemen UE memberlakukan dua directives (instruksi), Seveso 1 Directive (82/501/EBC) dan versi terbarunya, Seveso II Directive (96/82/EC), keduanya mensyaratkan manufakturer untuk mengidentifikasikan area-area yang berpotensi berbahaya dalam proses manufakturing dan untuk mengambil semua langkah-langkah yang diperlukan untuk mencegah terjadinya kecelakaan besar dalam rangka untuk (1) mencegah kecelakaan besar yang dihasilkan dari aktivitas industri mereka, dan (2) membatasi konsekuensi untuk manusia dan juga lingkungan dari kecelakaan yang mungkin terjadi. Directive ini menuliskan aturan-aturan untuk pencegahan kecelakaan besar yang melibatkan senyawa berbahaya, dan pembatasan konsekuensinya untuk kesehatan manusia dan lingkungan, dengan sebuah pandangan untuk memastikan level perlindungan yang tinggi di seluruh Union dalam cara yang konsisten dan efektif[6]. 
Pengaturan Saveso Directive ada karena timbulnya bencana di Saveso seperti yang telah dijelaskan diatas, kejadiannya sama jika dibandingkan dengan kasus yang pernah terjadi di Indonesia yaitu luapan lumpur panas bercampur gas yang terjadi di Kecamatan Porong Kabupaten Sidoarjo yaitu keduanya sama-sama terjadi akibat adanya kesalahan mekanisme pada saat melakukan aktivitas industri. Disini mengapa Indonesia tidak belajar dari latar belakang terbentuknya Saveso Directive, yang membuat suatu peraturan akibat telah terjadinya bencana di Saveso.
d.      Perbandingan Pengaturan Bencana Industri di Indonesia dengan Uni Eropa
Dari perbandingan yang sudah dipaparkan diatas dapat terlihat bahwa terdapat persamaan, perbedaan, kekuatan, dan  kelemahan  dari Undang-undang Lingkungan Hidup, Undang-undang Penanggulangan Bencana, Undang-undang Pertambangan Mineral dan Batubara. Persamaan dari ketiga Undang-undang yang ada di Indonesia ini dengan Saveso Directive dalam hal ini adalah semuanya mengatur mengenai Subyek Hukum Korporasi, dan dengan perbandingan yang dilakukan terdapat persamaan antara Undang-undang Penanggulangan bencana dengan Saveso Directive berisi mengenai pengaturan untuk mengurangi atau menghilangkan resiko bencana, baik melalui pengurangan ancaman bencana maupun kerentanan pihak yang terancam bencana, akan tetapi dalam Undang-undang Penanggulangan bencana belum secara spesifik mengatur mengenai bencana industri.
B.          Urgensi Pengaturan Pertanggungjawaban Pidana Akibat Bencana Industri oleh Korporasi.
a.      Kepastian Hukum Terkait Pengaturan Bencana Industri dalam Hukum Positif di Indonesia.
Salah satu fungsi hukum yaitu sebagai alat untuk melindungi kepentingan masyarakat[7], seharusnya hukum tersebut harus dijalankan untuk menjamin suatu perlindungan bagi masyarakat. Akan tetapi dengan ketidakadaannya kespesifikkan mengenai pengaturan bencana industri ini maka belum adanya upaya untuk melindungi masyarakat, kemudian apabila bencana industri terjadi maka hukum belum dapat berfungsi untuk melindungi masyarakat, bagaiaman hukum akan melindungi masyarakat apabila hukumnya tersebut belum spesifik mengatur mengenai bencana industri. Seperti halnya bencana yang disebabkan oleh kesalahan mekanisme aktivitas industri yang terjadi di Kecamatan Porong Kabupaten sidoarjo, nampak bahwa fungsi hukum belum dapat berfungsi dimana hukum yang seharusnya melindungi masyarakat, akan tetapi dengan adanya kejadian tersebut masyarakan bukannya menjadi dilindungi melainkan menjadi dirugikan akibat tidak spesifiknya pengaturan hukumnya.
Sebuah undang-undang seharusnya mampu memanifestasikan tujuan hukum yang mencakup keadilan, kepastian dan kemanfaatan. Akan tetapi di Indonesia tidak ada hukum yang mengatur mengenai Bencana Industri. Hanya beberapa Undang-undang saja yang mengaturnya tetapi tidak secara spesifik tentang bencana industri, antara lain Undang-undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, dan Undang-undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana. Bagaimana masyarakat dapat merasakan keadilan apabila dalam pengaturan dalam hukum positif di Indonesia belum mengatur secara spesifik mengenai bencana industri, sedangkan berdasarkan teori etis[8] yaitu hukum semata-mata bertujuan untuk keadilan, karena setiap orang berhak atas keadilan, dengan keadilan setiap orang dapat merasakan apa yang namanya kesejahteraan, kebahagiaan, dan sebagainya. Terutama bagi korban bencana besar yang diakibatkan olek kesalahan mekanisme aktivitas industri yang dilakukan oleh korporasi.
Berdasarkan Teori Utilitis[9], menurut teori ini hukum menjamin kebahagiaan yang terbesar bagi manusia dalam jumlah yang sebanyak-banyaknya. Pada hakekatnya menurut teori ini tujuan hukum adalah manfaat dalam menghasilkan kesenangan atau kebahagiaan yang terbesar bagi jumlah orang yang terbanyak. Dikaji dari ketiga peraturan perundang-undangan di Indonesia belum bisa memberikan manfaat dan kebahagiaan bagi masyarakat khususnya yang menjadi korban bencana industri, justru membuat kesukaran dan keresahan bagi masyarakat akibat terjadinya bencana besar yang disebabkan olek aktivitas industri, karena hukum positif di Indonesia belum secara jelas mengatur mengenai bencana industri. Sehingga setelah melihat uraian diatas maka penting adanya suatu pengaturan bencana industri dalam ius constituendum agar tidak terjadi Vacum Of Law atau kekosongan hukum apabila terjadi permasalahan bencana industri, kemudia pentingnya adanya pengaturan bencana industri ini juga sebagai langkah preventif untuk mencegah terjadinya bencana industri di Indonesia.
b.      Kejelasan pengaturan pertanggungjawaban pidana korporasi
Sebagai sebuah korporasi dalam hal ini ini tidak memiliki mens rea apakah dapat juga dijatuhi pertanggungjawaban pidana apabila korporasi tersebut melakukan kesalahan, kesalahan yang dimaksud tersebut adalah kesalahan mekanisme dalam pelaksanaan aktivitas industri. Faktor mens rea tersebut dapat diambil dari manusia sebagai pihak yang menjalankan operasional korporasi. Sehingga apabila korporasi melakukan tindak pidana maka baik korporasi maupun pengurusnya dapat dijatuhi pembebanan pertanggungjawaban pidana.
Menurut Teori Relative[10], tujuan pemidanaan yaitu mencari dasar hukum pidana dalam menyelenggarakan tertib masyarakat dan akibatnya yaitu tujuan untuk preventif terjadinya kejahatan, teori relative ini menhendaki penjeraan. Penjeraan tersebut dimaksudkan penjeraan untuk pelaku kejahatan agar ada rasa jera atau rasa takut sehingga pelaku kejahatan takut untuk melakukan tindak pidana lagi, dalam hal ini adalah korporasi yang melakukan kejahatan dalam melakukan mekanisme aktivitas industri. Karena korporasi merupakan pihak yang paling bersalah apabila terjadi bencana industri, bencana besar tersebut diakibatkan oleh kesalahan mekanisme dalam proses aktivitas industri. Jika dikaji dari pengaturan pemidanaan korporasi dalam ius constitutum belum ada pengaturan yang jelas mengenai pemidanaan bagi pengurus korporasi, bagaimana tujuan pemidanaan untuk memberikan efek jera bagi pengurus korporasi yang melakukan kejahatan dapat diterapkan apabila pengaturannya sendiri belum jelas terkait pertanggungjawaban pidana bagi pengurus korporasi. Seharusnya ada pengaturan lebih jelas terkait pertanggungjawaban pidana bagi pengurus korporasi, khususnya pengaturan mengenai pengurus siapa yang wajib bertanggungjawab apabila terjadi suatu kejahatan yang dilakukan oleh korporasi agar dapat terciptanya tujuan pemidanaan untuk memberikan efek jera bagi pengurus korporasi yang melakukan kejahatan
c.       Menjamin perlindungan hukum bagi korban akibat Bencana Industri
Pentingnya diberlakukannya pengaturan pertanggungjawaban pidana akibat bencana industri oleh korporasi guna memberikan batasan-batasan terhadap pelaku kejahatan terutama untuk melindungi korban-korban yang haknya dirampas akibat adanya tindakan yang merugikan masyarakat. Keharusan yang mendesak pengaturan ini semata-mata untuk memberikan efek jera bagi pelaku korporasi, dan melindungi korban-korban bencana yang diakibatkan oleh aktivitas industri.
Korban kejahatan yang pada dasarnya merupakan pihak yang paling menderita dalam suatu tindak pidana, justru tidak memperoleh perlindungan sebanyak yang diberikan oleh Undang-undang kepada pelaku kejahatan. Akibatnya, pada saat pelaku kejahatan telah dijatuhi sanksi pidana oleh pengadilan, kondisi korban kejahatan seperti tidak dipedulikan sama sekali. Padahal, masalah keadilan dan penghormatan hak asasi manusia tidak hanya berlaku terhadap pelaku kejahatan saja, tetapi juga korban kejahatan[11].
Dalam penyelesaian perkara pidana, sering kali hukum terlalu mengedepankan hak-hak tersangka/ terdakwa, sementara hak-hak korban diabaikan, sebagaimana dikemukakan oleh Andi Hamzah : “ Dalam membahas hukum acara pidana khususnya yang berkaitan dengan hak-hak asasi manusia, ada kecenderungan untuk mengupas hal-hal yang berkaitan dengan hak-hak tersangka tanpa memerhatikan pula hak-hak para korban[12].
Oleh karena itu, sangatlah penting adanya pengaturan mengenai pertanggungjawaban pidana bagi korporasi untuk melindungi hak-hak korban yang haknya terenggut akibat adanya bencana industri yang disebabkan oleh adanya kegiatan industri yang dilakukan oleh korporasi.
d.      Alternatif pengaturan Bencana Industri dalam ius constituendum.
Latar belakang lahirnya pengaturan Saveso Directive di Uni Eropa yaitu adalah adanya suatu bencana besar akibat kesalahan mekanisme dalam aktivitas industri, nama saveso ini diambil dari nama kota kecil di Swiss yang mengalamai bencana industri tersebut. Jika kita lihat di Indonesia juga pernah terjadi suatu bencana besar akibat kesalahan mekanisme dalam aktivitas industri yaitu Luapan lumpur panas bercampur gas di Kecamatan Porong Kabupaten Sidoarjo. Mengapa Indonesia tidak belajar dari apa yang dilakukan oleh pihak pemerintah Uni Eropa untuk membuat peraturan mengenai bencana industri, disini Pemerintan Indonesia dapat mengkaji latar belakang terbentuknya Saveso Directive di Uni Eropa untuk menjadikan adanya suatu pengaturan dalam Undang-Undang yang ada di Indonesia mengenai bencana industri[13], baik dijadikan suatu peraturan perundang-undangan baru ataupun memasukkan suatu pasal yang nantinya dimasukkan kepada peraturan perundang-undangan yang sudah ada.
Berdasarkan perbandingan yang sudah dijelaskan, Saveso Directive ini memberikan tujuan untuk pencegahan dan mengurangi kecelakaan besar yang terjadi akibat kesalahan mekanisme dampak dari kegiatan atau aktivitas industri. Jika dibandingkan dengan pengaturan dalam perundang-undangan di Indonesia, Indonesia juga memiliki Undang-Undang Nomor. 27 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana. Dalam Undang-Undang Penanggulangan bencana ini mengatur mengenai pengaturan untuk mengurangi atau menghilangkan resiko bencana, baik melalui pengurangan ancaman bencana maupun kerentanan pihak yang terancam bencana.
Melihat dari uraian diatas, perlu adanya revisi dalam Undang-Undang Nomor. 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, yaitu perlu adanya pengaturan terkait bencana industri yaitu bencana atau kecelakaan besar yang diakibatkan oleh peristiwa atau rangkaian peristiwa yang disebabkankan oleh kesalahan mekanisme dalam proses kegiatan atau aktivitas industri, untuk mengurangi serta meminimalisir resiko bencana industri, baik melalui pengurangan ancaman bencana serta pengetatan pengawasan terhadap aktivitas industri maupun kerentanan pihak yang terancam bencana akibat kesalahan mekanisme dalam aktivitas industri yang dilakukan oleh korporasi. Sehingga tercipta keadilan, kepastian, dan kemanfaatan khususnya bagi masyarakat yang menjadi korban akibat bencana industri.


Tabel
Perbandingan Pengaturan Bencana Industri dalam Ius Constitutum dan Alternatif Pengaturan dalam Ius Constituendum

No.

Pengaturan

Undang-undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana


Alternatif pengaturan Bencana Industri dalam
UU Penanggulangan Bencana dalam Ius Constituendum

1.
Subyek Hukum
Badan Hukum sebagai subyek hukum tindak pidana.
Korporasi merupakan subyek hukum tindak pidana, baik yang berbadan hukum maupun yang tidak berbadan hukum.
2.
Perbuatan
Setiap orang yang melakukan pembangunan berisiko tinggi, yang tidak dilengkapi dengan analisis bencana yang mengakibatkan terjadinya bencana.
Setiap orang yang melakukan kesalahan mekanisme dalam  proses aktivitas industri yang mengakibatkan terjadinya bencana besar.
3.
Sanksi bagi pengurus Korporasi
Tidak menyebutkan mengenai siapa saja pengurus yang bertanggungjawab
Pertanggungjawaban pidana bagi korporasi diberikan kepada pengurus sebagai pihak yang menjalankan operasional korporasi, yang termasuk pengurus antara lain:orang yang memberi perintah, orang yang bertindak sebagai pemimpin, atau yang yang melalaikan pencegahannya.
4.
Obyek Hukum
Bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau rangkaian peristiwa non alam yang diantara lain berupa gagal teknologi, gagal modernisasi, epidemi dan wabah penyakit.

Bencana atau kecelakaan besar yang diakibatkan oleh peristiwa atau rangkaian peristiwa yang disebabkankan oleh kesalahan mekanisme dalam proses kegiatan atau aktivitas industri.

(Sumber : Bahan Hukum Primer, diolah, 2014)
D.    Penutup
1.      Kesimpulan
a.       Di Indonesia tidak ada hukum yang mengatur secara spesifik mengenai Bencana Industri. Hanya beberapa Undang-Undang saja yang mengaturnya tetapi tidak secara spesifik tentang bencana antara lain Undang-Undang Pertambangan, Undang-Undang Lingkungan Hidup, dan Undang-Undang Penanggulangan Bencana. Jika dikaji dari ketiga Undang-undang tersebut, tidak ada satu Undang-undangpun yang secara spesifik mengatur mengenai bencana industri yaitu bencana besar yang terjadi diakibatkan oleh adanya kesalahan mekanisme dalam proses aktivitas industri. Kesalahan mekanisme yang dimaksud disini terjadi baik karena sengaja maupun karena kealpaan atau ketidaksengajaan. Jika dibandingkan dengan pengaturan yang ada di Uni Eropa yaitu Saveso Directive, dalam hal ini terdapat persamaan dengan Undang-undang Penanggulangan Bencana keduanya sama-sama berisi mengenai pengaturan untuk mengurangi resiko bencana, akan tetapi dalam Undang-undang Penanggulangan Bencana belum secara spesifik mengatur mengenai bencana industri.
b.      Pentingnya pengaturan bencana industri dalam Ius Constituendum adalah untuk memberikan kepastian hukum  terkait pengaturan bencana industri, memberikan kejelasan terkait pengaturan pertanggungjawaban pidana bagi korporasi, dan untuk menjamin perlindungan hukum bagi korban akibat bencana industri. Oleh karena itu perlu adanya pengaturan tambahan mengenai bencana industri dalam Undang-undang Penanggulangan Bencana untuk menjamin kepastian, keadilan, dan kemanfaatan bagi masyarakat khususnya masyarakat yang menjadi korban akibat terjadinya bencana besar yang diakibatkan oleh aktivitas industri.
2.      Saran
a.       Bagi Pemerintah, sudah saatnya mengkaji Undang-undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana untuk melengkapinya dengan pengaturan bencana industri, agar tercapainya tujuan hukum yakni keadilan, kepastian, kemanfaatan bagi masyarakat khususnya yang menjadi korban bencana industri, dan perlu ditambahkan sebuah kejelasan pengaturan pertanggungjawaban pidana bagi korporasi terkait tanggungjawab pengurus karena  diketahui bahwa sebagian besar industri digerakkan oleh subyek hukum korporasi.
b.      Bagi masyarakat, diharapkan masyarakat mengetahui akan bahaya terjadinya bencana industri agar masyarakat tidak melakukan perbuatan atau tindakan  yang dapat menyebabkan terjadinya bencana industri.

E.     Daftar Pustaka
Andi Hamzah, 2008, Asas-asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta.
Dikdik M. Arief Mansur, dan Elisatris Gultom, 2007, Urgensi Perlindungan Korban Kejahatan Antara Norma dan Realita, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta.
Ishaq,  2008, Dasar-dasar Ilmu Hukum, Sinar Grafika, Jakarta.
Jurggenber and Eric L.Jensen, 2003, Encyclopedia of White Collar Crime-Saveso Dioxin Disaster, Greenwood Press, London.
Laode M Kamaluddin, 2005, Indonesia Sebagai Negara Maritim Dari Sudut Pandang Ekonomi, UMM Press, Malang.
Sudikno Mertokusumo, 2005, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Liberty, Yogyakarta.
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN :
Undang-undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana.
Undang-undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara.
Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaaan Lingkungan Hidup.
Saveso Directive
TESIS
Ivan Valentina Ageung, 2010, Kejahatan Korporasi Dalam Kasus Luapan Lumpur Lapindo Brantas Incorporated, Tesis Program Pasca Sarjana Fakultas Hukum Universitas 17 Agustus Jakarta.
JURNAL INTERNASIONAL
Raskin E. Hansen and Z. Zhu, M. Iwra, 1992, Simulation Of Water Supply and Demand in the Aral Sea Region.






[1]  Laode M Kamaluddin, Indonesia Sebagai Negara Maritim Dari Sudut Pandang Ekonomi, Malang, UMM Press, 2005, hlm.1
[2] Raskin E. Hansen and Z. Zhu, M. Iwra, Simulation Of Water Supply and Demand in the Aral Sea Region, 1992.
[3] Jurggenber and Eric L.Jensen, Encyclopedia of White Collar Crime-Saveso Dioxin Disaster, Greenwood Press, London, 2003. Hlm 260.
[4] Ivan Valentina Ageung, Kejahatan Korporasi Dalam Kasus Luapan Lumpur Lapindo Brantas Incorporated, Tesis Program Pasca Sarjana Fakultas Hukum Universitas 17 Agustus Jakarta, 2010, Hlm 3.
[5] Didalam Peraturan Daerah Kabupaten Sidoarjo No. 16 Tahun 2003 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Sidoarjo Tahun 2003-20013 tidak satupun pasal yang menyebutkan bahwa Kecamatan Porong adalah kawasan pertambangan migas.
[6] Jurggenber and Eric L. Jensen, Loc.Cit
[7] Ishaq, Dasar-dasar Ilmu Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, 2008. Hlm 10
[8] Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Liberty, Yogyakarta, 2005. Hlm 77
[9] Ibid
[10] Andi Hamzah, Asas-asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta, 2008. Hlm 29
[11] Dikdik M. Arief Mansur, dan Elisatris Gultom, Urgensi Perlindungan Korban Kejahatan Antara Norma dan Realita, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2007. Hlm 24            
[12]Ibid. Hlm 25
[13]Hasil wawancara dengan Bosman Batubara, Sebagai Ahli Geologi, Pada tanggal 20 September 2013 , diolah.

A call-to-action text Contact us